Silence: Tuhan yang Diam atau Gereja yang Diam?
Oleh Yeri Lando
Berandawangkung.blogspot.com
Pengantar Novel ini merupakan salah satu novel terlaris karya Shusako Endo. Banyak orang yang mengapresiasi novel silence, akan tetapi banyak juga yang menganggap karya Shusako Endo ini hanyalah untuk ketenaran semata. Novel silence telah membawa kita pada suatu sejarah yang mungkin selama ini dilupakan bahwa agama Katolik pernah hadir di negeri Matahari Terbit.
Novel ini menghadirkan secuil kisah dari perjuangan orang Katolik pada zaman itu. Orang-orang Katolik di Jepang mengalami nasib seperti jemaat Katolik ketika ditindas oleh kekaisaran Romawi. Penulis memberikan judul novelnya tentu saja memiliki maksud tertentu, sehingga saya pun tertarik mengulas novel ini dengan judul “Silence: Tuhan yang Diam atau Gereja yang Diam?”
Maksud Shusaku Endo Menulis Novel Silence
Bapa kami bukan mempermasalahkan benar dan salahnya doktrinmu. Di Spanyol dan Portugis dan negeri-negeri lain semacamnya, doktrin itu mungkin benar. Sebabnya kami melarang Kristianitas di Jepang adalah setelah menimbang-nimbang dengan saksama dan mendalam, kami mendapati ajaran itu tidak ada gunanya untuk Jepang masa kini.”[1]
Shusako Endo selain ingin menceritakan kembali kepada pembaca tentang sejarah kelam kekatolikan di Jepang, sebenarnya hendak mengkritik agama Katolik. Kritik yang disampaikan memang tidak disampaikan secara langsung, tetapi agama Katolik perlu beradaptasi dengan setiap tempat jika ingin menyebarkan ajarannya.
Jepang adalah rawa-rawa[2], maka pohon yang harus ditanam di sana adalah Bakung atau Hidrila adalah jenis pohon yang tumbuh di rawa-rawa bukan Mahoni atau Jati. Jika pohon Mahoni atau Jati yang ditanam dapat dipastikan pohon itu akan segera mati karena bukan habitatnya untuk tumbuh di rawa-rawa. Demikian juga dengan agama Katolik. Para misionaris harus bisa memahami situasi dan kondisi suatu tempat jika ingin menyebarkan ajarannya.
Kesalahan para misionaris waktu itu adalah mereka tidak mampu menemukan bentuk kristianitas yang sesuai dengan karakter masyarakat setempat. Pohon Kristianitas Hellenistik tidak bisa begitu saja dicabut di Eropa dan ditanam begitu saja di rawa-rawa Jepang yang mempunyai tradisi budaya yang sepenuhnya berbeda. Kalau hal itu dilakukan, tunas pohon yang masih muda itu akan layu dan mati. Perbedaan latar tempat penyebaran ajaran kekatolikan harus dipahami oleh para misionaris.
Shusako Endo hanya ingin menggarisbawahi kegagalan agama Katolik dalam mendapatkan tempat ‘istimewa’ di hati pemerintah Jepang adalah kegagalan mereka untuk melakukan inkulturasi dengan budaya setempat. Budaya Barat yang Hellenistik terlalu dipaksakan kepada Jepang. Siapapun pasti akan menolak jika seorang tamu memaksakan kehendaknya kepada tuan rumah. Singkatnya, di mana bumi dipijak, di situ langit dijinjing.
Situasi sosial pada masa itu adalah terjadinya ketidakpercayaan orang-orang Jepang terhadap orang-orang Eropa yang ingin menguasai Jepang. Hal ini bermula dari hubungan perdagangan yang mulai renggang antara kekaisaran Jepang dengan para pedagang Barat.
Tahun 1579 merupakan puncak aktivitas misionaris Katolik di sana karena sekitar 130.000 orang yang menjadi Katolik. Data yang diperoleh di kemudian hari menunjukkan jumlah orang Katolik di Jepang pernah mencapai 400.000 orang.
Menjelang akhir abad ke-16, Jepang menjadi komunitas Katolik luar Eropa terbesar yang tidak berada di bawah kekuasaan Eropa. Jepang adalah salah satu negara di luar Eropa di mana semua anggota Jesuit penduduk lokal, seperti halnya dengan misi Katolik di Meksiko, Peru, Brasil, Filipina, atau India, terlepas dari kehadiran elit kolonial.
Agama Katolik diterima oleh banyak orang di sana karena semua orang dari berbagai kelas sosial berhasil dirangkul, seperti orang miskin, kaya, petani, pedagang, pelaut, pejuang, atau pelacur. Sebagian besar kegiatan harian Gereja dilakukan oleh orang Jepang, dan ini adalah salah satu alasan keberhasilannya. Pada tahun 1590, terdapat tujuh puluh Putra asli Jepang menjadi biarawan setengahnya adalah Yesuit di Jepang dan lima belas persen dari 70 orang itu berkarya di luar Jepang.
Situasi berubah ketika Toyotomi Hideyoshi menjadi Shogun. Ketika menjadi penguasa Jepang, Hideyoshi mulai memperhatikan ancaman eksternal, terutama perluasan kekuatan Eropa di Asia Timur. Titik balik untuk misi Katolik adalah insiden di San Felipe, kapten kapal dagang Spanyol mengklaim bahwa para misionaris yang ada di sana mempersiapkan penaklukan Jepang. Klaim ini membuat Hideyoshi curiga terhadap agama asing tersebut. Ia berusaha untuk mengekang Katolik, tetapi tetap menjaga hubungan perdagangan dengan Portugis dan Spanyol.
Pada tanggal 5 Februari 1597, dua puluh enam orang Katolik – enam Fransiskan Eropa, tiga Jesuit Jepang dan tujuh belas awam termasuk tiga anak muda disalibkan di Nagasaki. Setelah itu terjadi pengejaran terhadap orang Katolik dan martir yang paling terkenal dari antara mereka adalah Paulus Miki yang diperingati setiap tanggal 6 Februari. Penganiayaan terus berlanjut secara sporadis, pecah lagi pada tahun 1613 dan 1630. Pada tanggal 10 September 1632, 55 orang Katolik menjadi martir di Nagasaki.
Tokugawa Ieyasu
Setelah kematian Toyotomi Hideyoshi, Tokugawa Ieyasu berkuasa atas Jepang, pada tahun 1600. Seperti Toyotomi Hideyoshi, ia tidak menyukai kegiatan Katolik di Jepang tetapi ia tetap mengutamakan perdagangan dengan Portugis dan Spanyol. Dia membangun perdagangan dengan Filipina. Relasi dagang dengan pihak Katolik membuat kebijakannya tidak konsisten.
Pada saat yang sama, dalam usaha untuk merebut kendali perdagangan di Jepang, pedagang Belanda dan Inggris menasehati bahwa Spanyol memang memiliki ambisi teritorial, dan bahwa Katolikisme adalah sarana utama Spanyol. Sebaliknya, Belanda dan Inggris berjanji bahwa mereka akan membatasi diri hanya untuk berdagang dan tidak akan melakukan kegiatan misionaris di Jepang.
Tokugawa akhirnya memutuskan untuk melarang penyebaran agama Katolik tahun 1614, dan pada pertengahan abad ke-17 menuntut pengusiran semua misionaris Eropa. Hal ini menandai akhir dari Katolik terbuka[4] di Jepang. Penyebab langsung dari larangan adalah kekuatiran Tokugawa terhadap kemungkinan invasi oleh Spanyol dan Portugis, yang sebelumnya terjadi di Amerika Latin dan Filipina.
Pada tahun 1615, seorang Fransiskan utusan Raja Muda Baru Spanyol meminta kepada Shogun tanah untuk membangun sebuah benteng dan ini memperdalam kecurigaan Jepang terhadap Katolik dan Spanyol. Orang Katolik dianggap membawa gangguan kepada masyarakat Jepang dan pengikut mereka “bertentangan dengan peraturan pemerintah, menolak Shinto, dan mempergunjingkan Undang-undang”. Pada abad ke-19 Jepang kembali menerima orang-orang Katolik berkarya di sana.
Makna Sosial Penindasan
Sasaran dari penyiksaan terhadap orang Katolik di Jepang adalah pengingkaran atas iman Kristiani. Membunuh tak pernah menjadi tujuan; kematian hanya menjadi akibat paling akhir ketika tawaran untuk mengingkari menemui jalan buntu. Penguas Jepang pun mencari variasi penyiksaan.
Pada akhirnya mereka berusaha untuk mencabut akar agar tunas Kristianitas yang telah tumbuh. Itulah sebab, sasaran rayuan dialihkan kepada para Padre Rodrigues. Dia adalah pemimpin sekaligus kepalanya. Itu artinya, tanpa harus mengorbankan lebih banyak nyawa jika Padre Rodrigues menyangkal imannya.
Dari novel, makna sosial yang hendak disampaikan adalah pemerintah akan melakukan apa saja untuk membendung wilayah kekuasaanya yang dirasanya dapat menggangu pemerintahannya. Agama Katolik dipandang sebagai pengganggu kestabilan pemerintahan Jepang. Jalan terbaik yang dilakukan adalah memusnahkan agama Katolik dari bumi Jepang. Caranya adalah dengan menyiksa dan penidasan yang dilakukan tiada henti.
Penindasan yang dilakukan secara terus-menerus diharapkan menumbulkan efek jera bagi yang disiksa. Akan tetapi, dari sejarah ternyata agama Katolik mampu bertahan dan melewati masa-masa penyiksaan itu dengan sangat hebat.
Masa penyiksaan dilewati hingga pada akhirnya bangsa Jepang kembali membuka diri untuk berelasi dengan dunia luar dan agama Katolik menghirup udara segar. Tetapi, dari semua itu yang patut dilihat adalah solidaritas di antara orang Katolik itu sendiri. Di sini sangat berlaku teori Emile Durhkeim tentang solidaritas mekanik.
Solidaritas mekanik ini adalah masyarakat atau kelompok sosial yang didasarkan pada kesadaran kolektif, kebersamaan, dan hukum yang bersifat menekan. Ikatan dalam solidaritas mekanik terjadi karena kesamaan aktivitas dan merasa memiliki tanggung jawab yang sama, sehingga ikatannya sangat erat.
Kesamaan nasib sebagai orang tertindas memampukan komunitas Katolik Jepang bertahan. Solidaritas di antara mereka tidak dapat diragukan lagi. Mereka adalah simbol keberhasilan kelompok yang selalu tertindas, tetapi masih dapat bertahan di tengah penindasan itu.
Kegagalan Misi Katolik di Jepang dari Sisi Sosiologis
Masalah utama yang diangkat dalam novel ini adalah konflik antara Timur dan Barat, secara khusus Kekatolikan. Memang ini bukan masalah baru. Sudah banyak penulis menyampaikannnya. Akan tetapi, Shusaku Endo adalah orang Katolik pertama yang mengemukakan hal ini dengan dahsyat dan menarik kesimpulan tegas bahwa Kristianitas harus beradaptasi secara radikal kalau ingin menumbuhkan akar di “rawa-rawa” lumpur Jepang.
Pengakuan Ferreira imam yang murtad dalam novel ini menjadi salah satu bukti bahwa “satu hal yang aku tahu pasti adalah agama kita tidak bisa berakar di negeri ini. Negeri Jepang ini seperti rawa-rawa. Suatu hari nanti kau akan menyadarinya sendiri. Dan rawa-rawa ini lebih parah dari yang biasa kau bayangkan. Setiap kali kau menanam tunas muda di rawa-rawa ini, akar-akarnya mulai membusuk, daun-daunnya menguning dan layu. Dan kita telah menanam tunas muda Kristianitas di rawa-rawa ini”[5].
Pernyataan Ferreira ini bukan tanpa maksud. Jepang disebutnya rawa-rawa karena memang semua yang datang dari luar tidak pernah berkembang di Jepang. Karena semakin ke tengah, maka akan tenggelam dalam rawa-rawa. Begitu pula dengan kekatolikan yang ditawarkan oleh para misionaris. Ketika mereka berada di wilayah terluar Jepang mereka tidak mengalami kesulitan untuk menyebarkan ajaran Kekatolikan. Akan tetapi, ketika memasuki pedalaman tantangan besar menghadang.
Penyatuan antara ajaran Shinto dan budaya Jepang begitu melekat. Dengan penyatuan agama dan budaya yang begitu melekat, dapat dipastikan agama atau budaya lain sulit untuk masuk ke dalam kehidupan mereka. Ajaran Shinto dan budaya bangsa Jepang telah menjadi identitas yang takkan pernah terpisahkan.
Masyarakat Jepang telah memiliki agamanya sendiri dan tidak benar jika kita memaksa mereka untuk mengikuti kita. Mereka telah menemukan apa yang mereka cari dalam ajaran Shinto.
Tuhan yang dipercaya orang-orang Jepang bukanlah Tuhan orang Katolik, tuhan-tuhan mereka sendiri. “Sekian lama kita tidak menyadari hal ini dan kita yakin sepenuhnya bahwa mereka telah menjadi orang-orang Katolik”[6].
Lebih lanjut Ferreira menegaskan “aku mengatakan ini bukan untuk membela diri atapun mencoba membuatmu yakin. Kurasa tak seorang pun akan percaya apa yang kukatakan ini. Aku melihat bahwa sedikit demi sedikit, hampir tidak kentara, akar-akar yang kita tanam telah membusuk[7]”. Menginjili Jepang, yang diyakini sebagai “rawa-rawa”, benih kekatolikan tidak pernah bisa bertumbuh dan berakar jika tidak beradaptasi.
Sampai hari ini bangsa Jepang tidak mengenal konsep Tuhan. Mereka tidak percaya pada Tuhan orang Katolik. Bangsa Jepang tidak bisa sepenuhnya memisahkan konsep Tuhan dari manusia. Mereka tidak bisa membayangkan eksistensi sesuatu yang melampaui manusia.
Bangsa Jepang membayangkan manusia yang indah dan mulia dan inilah yang mereka sebut Tuhan. Sebutan Tuhan itu mereka berikan kepada sesuatu yang memiliki eksistensi yang sama dengan manusia. Tetapi, dia bukanlah Tuhannya Gereja.
Kematian Kristianitas bukan disebabkan oleh larangan atau penganiayaan. Ada sesuatu di negeri itu yang menghambat pertumbuhan Kristianitas. Kristianitas yang mereka percayai itu bagaikan kerangka kupu-kupu yang terjerat di jaring laba-laba: hanya bentuk luarnya mereka ambil. Darah dan dagingnya sudah lenyap. Kepercayaan orang Jepang sangat sederhana dan mendasar, namun meniupkan keyakinan yang telah ditanamkan di Jepang oleh Gereja Katolik, bukan oleh para pejabat itu, bukan juga oleh Buddhisme[8].
Shinto sebagai agama, budaya dan simbol yang takkan pernah bisa dipisahkan dari masyarakat Jepang. Penyatuan yang erat ini menjadi tidak dapat dipisahkan karena masyarakat Jepang menemukan Tuhan dan kebahagiaan dalam ajaran Shinto.
Jika mereka sudah menemukan Tuhan dan kebahagiaan dalam ajaran Shinto, Tuhan mana lagi yang dapat membuat mereka menemukan lebih dari itu? Pengalaman kegagalan ini kiranya menjadi pelajaran bagi agama Katolik dalam bermisi.
Kesulitan Agama Monoteistik
Dari penjelasan di atas, sangat nampak betapa agama Shinto berakar dalam kehidupan masyarakat Jepang. Agama Buddha yang ajaran dan tradisinya banyak diadopsi oleh agama Shinto setelah sekian abad tetap tidak bisa mengambil alih pengaruh agama Shinto. Apalagi jika dibandingkan dengan agama monoteistik yang ajaran dan tradisinya jauh berbeda.
Sejarah telah mencatat betapa sulitnya agama monoteistik tertentu untuk berkembang di Jepang. Penyatuan agama dan budaya yang telah mendarah daging menjadi salah satu kesulitan berkembangnya agama monoteis di sana.
Meskipun sejak zaman St Fransiskus Xaverius agama monoteis (Katolik Roma) sudah membaptis beberapa masyarakat Jepang tidak berarti agama Katolik akan eksis. Agama Katolik yang sejak saat itu berusaha untuk hadir di Jepang ternyata tidak mampu masuk lebih dalam untuk berlama-lama hadir di sana.
Perbedaan cara berpikir dan konsep Tuhan dapat menjadi penyebab sulitnya agama Katolik atau agama monoteis berkembang di sana. Agama Shinto adalah simbol negeri Jepang.
Konsep Tuhan dalam kepercayaan Shinto sangat sederhana yaitu semua benda di dunia, baik yang bernyawa ataupun tidak pada hakikatnya memiliki roh atau kekuatan, jadi wajib dihormati. Sejak awal sebenarnya secara alamiah orang Jepang sudah menyadari bahwa mereka bukanlah mahluk kuat. Di luar mereka ada kekuatan lain yang lebih superior yang langsung ataupun tidak berpengaruh terhadap kehidupan mereka sehari-hari. Pengakuan, kekaguman, ketakutan dan juga kerinduan pada Spirit atau “Kekuatan Besar” yang disebut dengan nama Kami.
Arti Silence
Menurut saya, arti silence berdasarkan novel ini adalah Tuhan tidak memberikan jalan keluar ketika umatnya mengalami kesulitan. Tuhan seakan-akan tidak memberikan apa yang dibutuhkan oleh umat-Nya. Tuhan tidak terlihat dan sepertinya hanya diam ketika Padre Rodrigues menghadapi ujian hidup yang paling berat. Satu-satu orang beriman itu ditangkap, tidak untuk dibunuh. Mereka selalu punya pilihan; memilih hidup dengan syarat meninggalkan iman atau bersiap mati jika kukuh mempertahankannya.
Surat Padre Rodrigues menampilkan kenyataan bahwa semua yang beriman memilih mati demi mempertahankan keyakinan akan Kristus. Mungkin juga hal itu diperteguh oleh keyakinan bahwa kematian akan membawa mereka ke Surga, dan membebaskan mereka dari semua bentuk penindasan dan penderitaan di dunia.
“…Kalau kami masuk surga, kami akan menemukan kedamaian dan kebahagiaan abadi. Di Surga tidak perlu bayar pajak setiap tahun, tidak perlu takut kelaparan dan sakit. Tidak bakal ada kerja keras di sana. Di dunia ini kami selalu saja kena masalah” kata seorang perempuan Katolik bernama Monica[9].
Agama telah menjadi candu untuk masyarakat Jepang pada zaman itu. Mereka terpesona dengan janji-janji tentang Surga yang tidak akan mengalami penderitaan atau membayar pajak terhadap Kaisar.
Arti lain dari silence menurut saya adalah para misionaris merasa ditinggalkan. Ketika mereka dalam kesulitan dan harus mengambil keputusan yang sulit, Tuhan justru ‘tidak ada’. Baik Ferreira maupun Rodrigues dibiarkan berjuang sendirian. “Hentikan! Hentikan! Tuhan, sekaranglah Kau harus menghentikan keheningan-Mu. Kau tidak boleh tetap bungkam. Buktikan Kau adil, mahabaik, penuh kasih. Kau harus membuka suara, untuk menunjukkan pada dunia bahwa Kau mahakuasa.”[10]
Mengapa Tuhan terus berdiam diri sementara hamba-Nya harus menghadapi pilihan yang menentukan kehidupan banyak orang. Apakah Tuhan hanya mengejek Rodrigues dan misionaris lainnya? Tidak ada yang tahu selain Tuhan sendiri.
Orang Katolik Jepang merasa mereka menderita tanpa “ada keterlibatan Allah” yang kelihatan. Mereka dibiarkan menanggung sendirian penderitaan itu. Penderitaan yang mungkin saja tidak mereka alami seandainya mereka bukan Katolik.
Saya juga melihat arti silence sebagai operasi hening orang Katolik. Orang Katolik dalam menyebarkan ajaran agama Katolik di sana dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Pengalaman mereka seperti orang Katolik pada masa pengejaran di wilayah kekaisaran Roma.
Mereka adalah warga negara ‘bawah tanah’ dalam menyebarkan ajaran agamanya. Keheningan dalam menyebarkan ajaran agama Katolik karena takut diketahui oleh pemerintah Jepang yang sangat memusuhi agama Katolik saat itu.
Umat Katolik Jepang dengan penuh kehati-hatian dalam menyebarkan agama Katolik. “Iman Anda memberi saya kekuatan, Mokichi[11],” katanya kepada seorang Katolik yang siap dibawa menuju tempat penyiksaan. Tapi, berapa lama mereka sanggup bertahan dalam tempat yang tersembunyi, sedang otoritas senantiasa mengincar dan mencari orang Katolik hingga ke tempat tersembunyi sekalipun.
Selain itu arti silence bagi saya adalah agama Katolik tidak mendapat respon pemerintah. Meskipun agama Katolik telah lama hadir di Jepang mereka tidak pernah mendapat tanggapan dari pemerintah. Orang-orang Katolik Jepang adalah korban perselisihan politik antara Jepang vs Spanyol.
Meskipun jumlah orang Katolik Jepang sempat mencapai 400.000 orang, tetapi itu hanyalah tampak luar. “Ibarat kupu-kupu yang terjerat di jaring laba-laba. Mulanya kau yakin dia kupu-kupu sayapnya, badannya. Realitasnya yang sejati sudah hilang dan menjadi sekadar kerangka. Di Jepang, Tuhan kita persis seperti kupu-kupu yang terjerat jaring laba-laba itu. Hanya bentuk luar Tuhan yang tersisa, tetapi sudah menjadi kerangka.”[12]
Daftar
Pusataka
Pusataka
https://en.wikipedia.org/wiki/History_of_the_Catholic_Church_in_Japan.
Diunduh Selasa 05 September 2017, pkl 08.13 WIB.
Diunduh Selasa 05 September 2017, pkl 08.13 WIB.
[1] Shusaku Endo, Silence, penter. Tanti Lesmana (Jakarta:
Kompas, 2009), 178.
Kompas, 2009), 178.
[2] Jepang disebut rawa-rawa bagi
Kristianitas sebab bangsa Jepang sangat sulit untuk berelasi dengan dunia luar
pada zaman itu. Belum lagi tradisi Jepang yang mencampurkan antara agama dan
politik. Agama asli Jepang yaitu Shinto adalah perpaduan antara tradisi asli
Jepang dengan agama Buddha. Akan tetapi, pengikut Buddha tidak pernah menjadi
Kaisar di Jepang. Meskipun sejarah telah menunjukkan Shinto sebelum abad
ketujuhbelas masih berada di bawah bayang-bayang Buddha, tetap saja agama
Buddha tidak bisa menghapus atau menggantikan peran Shinto dalam pemerintahan.
Shinto yang merupakan agama asli masyarakat Jepang kemudian mendesak agama
Buddha untuk beradaptasi terhadap Shinto. Menjadi teka-teki, mengapa selama
periode yang panjang agama Buddha tidak mampu menggantikan Shinto? Shintoisme
merupakan ajaran yang mengandung politik religius bagi Jepang, sebab saat itu
taat kepada ajaran Shinto berarti taat kepada kaisar dan berarti pula berbakti
kepada negara dan politik negara. Jadi, agama Buddha harus beradaptasi terhadap
Shinto jika ingin tetap bertahan di Jepang. Sebab, semua pemimpin politik
Jepang beragama Shinto.
Kristianitas sebab bangsa Jepang sangat sulit untuk berelasi dengan dunia luar
pada zaman itu. Belum lagi tradisi Jepang yang mencampurkan antara agama dan
politik. Agama asli Jepang yaitu Shinto adalah perpaduan antara tradisi asli
Jepang dengan agama Buddha. Akan tetapi, pengikut Buddha tidak pernah menjadi
Kaisar di Jepang. Meskipun sejarah telah menunjukkan Shinto sebelum abad
ketujuhbelas masih berada di bawah bayang-bayang Buddha, tetap saja agama
Buddha tidak bisa menghapus atau menggantikan peran Shinto dalam pemerintahan.
Shinto yang merupakan agama asli masyarakat Jepang kemudian mendesak agama
Buddha untuk beradaptasi terhadap Shinto. Menjadi teka-teki, mengapa selama
periode yang panjang agama Buddha tidak mampu menggantikan Shinto? Shintoisme
merupakan ajaran yang mengandung politik religius bagi Jepang, sebab saat itu
taat kepada ajaran Shinto berarti taat kepada kaisar dan berarti pula berbakti
kepada negara dan politik negara. Jadi, agama Buddha harus beradaptasi terhadap
Shinto jika ingin tetap bertahan di Jepang. Sebab, semua pemimpin politik
Jepang beragama Shinto.
[3] Konteks situasi sosial diolah
dari https://en.wikipedia.org/wiki/History_of_the_Catholic_Church_in_Japan.
Diunduh selasa 05 September 2017, pkl 08.13 WIB. Bagian ini sengaja dijelaskan
agar semua saudara dapat memahami konteks situasi sosial di Jepang pada zaman
itu. Sebab novel ini adalah novel sejarah, maka tafsirannya juga perlu
disesuaikan dengan konteks sejarahnya.
dari https://en.wikipedia.org/wiki/History_of_the_Catholic_Church_in_Japan.
Diunduh selasa 05 September 2017, pkl 08.13 WIB. Bagian ini sengaja dijelaskan
agar semua saudara dapat memahami konteks situasi sosial di Jepang pada zaman
itu. Sebab novel ini adalah novel sejarah, maka tafsirannya juga perlu
disesuaikan dengan konteks sejarahnya.
[4] ‘Terbuka’ dikatakan demikian
karena setelah masa ini penyebaran Kekatolikan di Jepang dilakukan secara
sembunyi atau disebut Katolik Bawah Tanah.
karena setelah masa ini penyebaran Kekatolikan di Jepang dilakukan secara
sembunyi atau disebut Katolik Bawah Tanah.
[5] Shusaku Endo, Silence, 234.
[6] Shusaku Endo, Silence, 235.
[7] Shusaku Endo, Silence, 235.
[8] Shusaku Endo, Silence, 238-242.
[9] Shusaku Endo, Silence, 183.
[10] Shusaku Endo, Silence, 164.
[11] Seorang Katolik yang menjadi
Katekis ketika Rodriques tiba di Jepang.
Katekis ketika Rodriques tiba di Jepang.
[12] Shusaku Endo, Silence, 237