
Suku Garo India dengan Penduduk Mayoritas Perempuan
Eastjourneymagz.com—Dunia sering dikenal sebagai ciptaan laki-laki karena semua keputusan hingga kebijakan diambil oleh laki-laki. Mayoritas suku-suku dan komunitas-komunitas di dunia dikuasai oleh lak-laki atau dikenal dengan sebutan patrilineal.
Hal itu mulai dari urusan kekuasaan, dapur hingga ranjang sekalipun menjadi urusan para lelaki. Kaum feminis memprotes hal ini terutama karena di beberapa tempat perempuan sebagai kelas ke-dua (Second of class) di dalam masyarakat.
Meski demikian, tidak semua suku di dunia menganut sistem patrilineal. Terdapat sejumlah suku di dunia yang hingga saat ini masih mempertahankan sistem matrilineal yakni berangkat dari garis keturunan ibu.Â
Baca Juga: Ini 7 Tempat Wisata Indonesia yang Wajib Kamu Kunjungi
Hal tersebut bahkan masih berlangsung meski di tengah gempuran modernitas saat ini. Nilai-nilai matrilineal masih sangat kental di dalam suku-suku tersebut.

Matrilineal sebenarnya merujuk pada sistem adat masyarakat yang mengatur keturunannya berdasarkan pihak ibu. Secara etimologi, matrilineal berasal dari dua kata yakni berasal dari kata bahasa Latin.
Mater yang berarti ibu, sementara linea yang berarti garis. Dengan demikian matrilineal dapat diartikan mengikuti garis keturunan yang ditarik dari pihak ibu.
Namun saat anda memasuki Suku Garo yang berada di Meghalaya India dan Bangladesh anggapan anda akan berbeda. Terutama anda yang berangkat dari latarbelakang budaya yang kental dengan patrilineal.
Suku terbesar kedua di Meghalaya setelah suku Khasi tersebut (berjumlah sekitar sepertiga dari total populasi) dimana kaum perempuan mendominasi populasi.
Julukan Orang Bukit

Suku Garo merupakan salah satu suku yang masih mempertahankan sistem matrilineal dalam kehidupan mereka bahkan hingga saat ini. Garo adalah salah satu dari sedikit masyarakat matrilineal yang tersisa di dunia.
Suku ini merupakan suku asli Tibeto-Burman dari benua India. Suku ini dapat ditemukan di negara bagian Meghalaya, Assam, Tripura, Nagaland, dan daerah tetangga di Bangladesh, terutama Mymensingh, Netrokona, Jamalpur, Sherpur dan Sylhet, Rangamati.
Baca Juga: Ini Dia Bangunan yang Pernah di Kirim Melalui Kantor Pos
Suku Garo memiliki julukanA·chik Mande yang bermakna “orang bukit,” dari kata a·chik “bukit” dan mande “orang”. Julukan ini diberikan oleh orang non-Garos kepada mereka. Garo merupakan suku terbesar kedua di Meghalaya
setelah Khasi. Jumlah tersebutpun merupakan sepertiga dari populasi lokal.
Posisi Perempuan
![]() |
Tarian Suku Garo/ Sumber A Sangma Photography |
Posisi perempuan di dalam suku ini memiliki pengaruh dan peran yang besar. Meski masyarakat Garo menganut paham matrilineal akan tetapi tidak boleh memahaminya sebagai matriarkal.
Dalam aturan tradisi Garo secara ketat mengatur soal gelar klan yang mesti dari garis sang ibu. Hal ini berseberangan dengan budaya patriarkal yang klan-nya berdasarkan keturunan ayah.
Sementara itu ada juga aturan soal pewarisan sang ibu (harta benda) yakni dengan mewarikannya langsung kepada putri bungsu (nokmechik). Aturan tersebut juga mewajibkan anak bungsu tersebut harus tunduk pada perkawinan yang biasanya berupa perjodohan.
Baca Juga: Ini Deretan Artis yang Mengenakan Kain Tenun Manggarai
Di sisi lain anak perempuan yang tidak mendapat hak warisan tersebut (kakak dari si bungsu) akan melangsungkan pernikahan yang rumit. Dalam prosesi tersebut pria yang menjadi calon suaminya harus menghilang dari pernikahan tersebut.
Pada akhirnya anak perempuan (calon istri) tersebut akan menyerah atau sebaliknya calon suaminya mau untuk menikah. Laki-laki akan tinggal di rumah pasangannya, apabila terdapat ketidakcocokan dalam hubungan
tersebut maka diperbolehkan untuk berpisah.
Posisi Laki-Laki
Dalam berbagai sumber menjelaskan, laki-laki di suku Garo tetap memiliki wewenang dalam hal memimpin masyarakat dan mengelola properti meski menganut sistem matrilineal. Â
Pada dasarnya seluruh properti menjadi hak kaum perempuan. Sementara kaum laki-laki tidak mendapat hak, hanya mengatur urusan masyarakat dan rumah tangga serta mengelola properti tersebut.
Menariknya suku ini meyediakan sebuah asrama desa yang mereka sebut nokapante. Anak laki-laki saat usianya menginjak masa remaja (pubertas) maka ia memiliki kewajiban untuk ke luar rumah.
Anak tersebut akan dilatih dan dibesarkan di nokapante bersama dengan warga yang lain. Bila ia menikah maka boleh meninggalkan asrama tersebut dan tinggal di rumah istrinya.
Dalam asrama tersebut harus menaati beberapa aturan yang telah mereka buat. Salah satunya adalah melarang Gadis Garo masuk ke Nokapante. Bila melanggar maka dianggap tercemar dan disebut “marang nangjok”.
Baca Juga: Dengan Paket Snorkling Murah, Anda Bisa Nikmati Keindahan Gili Ketapang Probolinggo
Profil Singkat Suku Garo
Suku Garo adalah salah satu kelompok etnis yang tinggal di wilayah Meghalaya, India Timur Laut, serta di beberapa bagian Bangladesh.
Mereka dikenal sebagai salah satu dari tiga suku besar di Meghalaya, bersama dengan suku Khasi dan Jaintia.
Wilayah tempat tinggal utama mereka adalah di Garo Hills, yang terdiri dari beberapa distrik seperti East Garo Hills, West Garo Hills, dan South Garo Hills.
Kehidupan masyarakat Garo sangat terikat dengan alam dan adat istiadat yang kaya akan tradisi.
Masyarakat Garo dikenal dengan sistem kekerabatan matrilineal, di mana garis keturunan ditarik melalui pihak ibu.
Dalam sistem ini, harta dan properti biasanya mewariskannya kepada anak perempuan, khususnya anak perempuan bungsu.
Meskipun demikian, kepala keluarga atau klan biasanya adalah laki-laki, seperti paman dari pihak ibu atau kakak laki-laki ibu.
Sistem ini memberikan peran penting kepada perempuan dalam kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Garo.
Bahasa suku Garo dalam kehidupan sehari-hari adalah bahasa Garo, yang termasuk dalam rumpun bahasa Tibet-Burma.
Selain bahasa Garo, banyak dari mereka yang juga bisa berbahasa Assam dan Inggris, terutama generasi muda yang mendapat pendidikan formal.
Budaya Garo kaya dengan musik, tarian, dan festival tradisional.
Salah satu festival yang paling terkenal adalah Wangala, atau dikenal juga sebagai “Festival Seratus Drum,” yang merupakan perayaan khusus untuk menghormati dewa kesuburan, Misi Saljong, setelah panen.
Suku Garo memiliki kepercayaan tradisional yang kuat, meskipun banyak di antara mereka yang telah memeluk agama Kristen akibat pengaruh misionaris sejak abad ke-19.
Kepercayaan tradisional mereka adalah Songsarek, yang menekankan pada pemujaan leluhur dan berbagai dewa alam.
Upacara keagamaan dan ritual adat masih sering mereka lakukan, mencerminkan keterikatan kuat mereka dengan kepercayaan dan praktik leluhur.
Kehidupan suku Garo mencerminkan perpaduan yang harmonis antara tradisi lama dan adaptasi terhadap perubahan zaman.