
Kisah Suku Korowai, Manusia Pohon yang Membangun Rumah di atas Pohon hingga Ketinggian 50-70 Meter
Suku Korowai merupakan manusia pohon dari tanah Papua, mereka membangun rumah di atas pohon dengan ketinggian 50-meter hingga 70 meter.
JIKA selama ini kita hanya mendengar manusia membangun rumah di ranting-ranting dan dahan-dahan pohon, dari dongeng-dongeng, animasi, film dan lukisan-lukisan, Namun hal itu nyata terjadi dengan suku Korowai.
Di Tengah belantara Papua, surga yang jatuh ke bumi, Suku Korowai hidup dengan tradisinya yang mengakar. Mereka menyebar di wilayah adat Anim Ha, di papua Selatan, baik di Merauke, Boven Digoel, Mappi maupun Asmat.
Ditemani kicauan burung-burung Cenderawasih anak-anak suku korowai tumbuh dari generasi ke generasi. Terdapat tiga ribuan jiwa yang mempertahankan tradisi korowai hingga kini. Namun, ternyata mereka telah berabad-abad lamanya hidup terisolir. Tidak mengenal dunia luar dan hanya menjelajah wilayah hak ulayat mereka sendiri. Suku ini bahkan tidak berbaur dengan suku-suku lain di luar mereka di tanah Papua.
Suku Korowai baru berinteraksi dengan dunia luar pertama kali pada puluhan tahun silam. Sekitar tahun 1975 hingga 1978, di kala para misionari Belanda di bawah pimpinan Johannes Veldhuizen yang melakukan kontak pertama kali dengan suku ini.
Para misionaris ini melakukan misi penginjilan di wilayah Suku ini berada. Lalu para misionaris inilah yang memperkenalkan Klufo Fyumanop atau Orang Korowai ke dunia luar. Suku ini pun akhirnya dikenal luas dan disebut sebagai manusia pohon.
Hidup Nomaden dan Peralatan yang Sederhana.
150 km dari Laut Arafuru, suku Korowai hidup nomaden. Meski mereka hidup berpindah-pindah namun sangat mengenal batas-batas ulayatnya. Suku ini juga tidak mengusik wilayah suku-suku lain di luar mereka.
Mereka menjunjung tinggi hak ulayat milik mereka, mengenal dengan baik batas-batasnya serta menjaga dan merawat hak ulayatnya turun temurun sesuai dengan marga atau klan.
Suku yang dikenal sebagai manusia pohon ini hidup dengan cara tradisional dan bergantung kepada alam tempat mereka tinggal. Mereka juga pandai meramu seperti mengolah pohon sagu sebagai bahan makanan pokok, dan juga terampil dalam berburu. Para lelaki bertugas memburu rusa, babi hutan, kus-kus hingga kasuari. Sementara Perempuan bertugas mengasuh anak dan mencari sagu.
Suku korowai masih menggunakan peralatan tradisional seperti menyalakan api dengan peralatan sederhana, memasak dan menampung air dengan tabung ruas bambu. Selain itu mengiris daging dengan pisau bambu yang tajam. Mereka memelihara babi dan juga anjing sebagai Binatang untuk membantu mereka di kala berburu. Korowai memiliki cara dagangan tradisional untuk jual beli pisau, perhiasan dan tulang.
Suku ini memiliki tradisi Pesta Sagu untuk merayakan kelahiran dan perkawinan. Untuk perkawinan mereka memiliki mahar yang unik yakni mahar gigi anjing yang dianggap sebagai mahar yang paling tinggi untuk menghormati Wanita Korowai. Semakin Panjang tali gigi anjing, semakin tinggi nilainya. Saat acara tiba. Mereka akan menari dan bernyanyi hingga fajar merekah.
Asal Usul Nama Korowai
Soal Nama Korowai, ternyata adalah cara paling muda orang Belanda memanggil atau menyebut suku ini. Korowai sebenarnya memiliki sebutan Klufo Fyumanop yang artinya mereka yang berjalan dengan kaki. Sebutan ini untuk membedakan mereka dari Suku Citak Mitak yang berpindah-pindah dengan perahu.
Jika dilihat dari segi postur tubuh, suku Korowai memang tidak berbeda jauh dengan suku-suku lain di tanah Papua. Namun mereka memiliki beberapa hal berbeda dari suku-suku lain di papua.
Korowai tidak menggunakan koteka, tidak seperti mayoritas suku-suku di Papua. Mereka juga memiliki Bahasa tersendiri dengan struktur yang unik yakni menggunakan struktur klausal Subjek Objek Predikat. Dikenal dengan Awyu-Dumut yang merupakan bagian dari filum Trans-Nugini
Orang-orang luar mengklasifikasikan orang Korowai dalam dua bentuk yakni Korowai besi dan korowai batu, untuk membedakan orang korowai yang sudah tersentuh dengan peralatan modern dan yang belum.
Ada anggapan bahwa Suku Korowai merupakan suku kanibalisme. Hal ini karena mereka memiliki tradisi untuk memakan mayat.
Namun ternyata mereka memiliki alasan yang kuat bahwa yang mereka konsumsi adalah Khakhua yang merupakan seorang penyihir yang menyerupai lelaki yang mengganggu mereka.
Suku Korowai meyakini kematian misterius di dalam suku mereka terjadi karena kehadiran khakhua. Karena itu Khakhua harus dimusnahkan dengan cara dimakan oleh semua anggota suku kecuali Ibu hamil dan anak-anak.
Rumah Pohon

Suku korowai dikenal luas karena tradisi rumah pohon yang unik sehingga disebut sebagai manusia pohon, julukan ini diberikan karena mereka hidup dan tinggal dengan nyaman dalam rumah di atas pohon. Mereka membangun rumah di ketinggian belasan hingga puluhan meter. Beberapa rumah bahkan berada di ketinggian hingga 70 meter.
Mereka tidak sendirian saat membangun rumah itu, tetapi bergotong royong dengan anggota suku korowai yang lainnya. Sebelumnya, mereka akan mencari pohon yang besar dan kokoh. Mereka akan memeriksa dahan-dahan dan ranting-ranting yang kuat.
Setelah mereka menemukan pohon yang cocok barulah mereka bahu-membahu membangun rumah di atas pohon itu. Dindingnya terbuat dari pohon sagu dan atapnya dari anyaman dedaunan sagu.
Mereka mengambil rotan, kulit kayu dan bambu sebagai bahan membuat rumah. Rotan-rotan yang diambil dari hutan sekitar berguna untuk mengikat dan menghubungkan kayu sehingga rumah yang dibangun di atas pohon itu akan kokoh dan tidak mudah roboh.
Untuk mencapai rumah yang susah dijangkau itu, mereka akan membangun tangga yang diikat pada batang pohon, tiang utama rumah. Penghuni rumah akan tanpa Lelah memanjat anak tangga untuk mencapai rumah.
Suku Korowai membangun rumah di atas pohon yang dianggap ekstrim. Namun mereka memiliki alasan yang kuat mengapa membangun rumah di atas ketinggian hingga 70 meter.
Dengan membangun rumah yang tinggi akan membuat mereka terhindar dari serangan Binatang buas, banjir bahkan serangan dari musuh.
Selain itu mereka memiliki kepercayaan bahwa rumah yang tinggi dapat menghindar dari gangguan roh jahat yang disebut laleo. Konon laleo ini adalah roh jahat yang berjalan dan berkeliaran di malam hari mencari mangsa. Leleo tidak bisa mengganggu mereka karena makhluk jahat itu tidak bisa memanjat pohon.
Rumah pohon suku korowai rata-rata memiliki ukuran 7 kali 10 meter, dengan beberapa sekat di dalamnya. Terdapat perapian yang terbuat dari tanah liat untuk memasal dan menghangatkan tubuh mereka. Mereka menggantung perapian itu di ruangan terbuka untuk memudahkan pemadaman api jika apinya membesar dan hendak terjadi kebakaran.
Sebuah rumah bisa bertahan tiga hingga empat tahun. Di dalam rumah di atas pohon itu, mereka hidup dengan damai di Tengah kesunyian hutan Papua.Â