
Kota Ruteng, Tong Sampah dan Urusan Kekuasaan
![]() |
Foto komunitas hijau dan diedit ulang oleh Eastjourneymagz.com |
Bukan saja soal sampah, politik atau kekuasaan itu bahkan masuk ke klub malam, botol-botol bir hingga ke urusan ranjang yang terhormat.
Eastjourneymagz.com—Sebelum saya memulai tulisan ini tepuk tangan dulu untuk saya. Tulisan ini berangkat dari hasil berselancar di media sosial. Lalu mengamati sebuah perdebatan para kawan-kawan yang katanya sedang mengadakan ritual demokrasi. Keren bingit kedengarannya!
Begini, salah seorang teman tiba-tiba memposting sebuah tempat sampah yang sampahnya berserakan. Tempatnya kira-kira berada di sekitaran kota Ruteng, Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Pada caption foto tersebut si teman menulis, “kemana sang penguasa?” Caption tersebut diserbu warganet Manggarai. Ada yang kasi like, love dan terbahak terpingkal-pingkal dan ada pula yang marah semarah-marahnya.
Baca Juga: Makna Lagu Ende Tenang Kole Chelsea Ndagung yang Bikin Air Mata Meleleh
Tapi di ruang komentar sebuah balasan tiba-tiba muncul,”Andakan di situ, kenapa harus menyuruh penguasa? Apa karena musim Pilkada?” Pokoknya seingat saya begitu, cacian dan maki berikutnya saya tidak baca, takut dosa.
Kalau di lihat sih, gara-gara tong sampah aja, sampai-sampai mereka bertengkar dan sumpah serapah. Bahkan ada pula yang mengutuk sampai tujuh turunan, bahkan anak cucu tidak bisa menghapus dosa tersebut. Tepuk tangan dulu untuk saya! Eh…untuk mereka!
Di sini pula kekuasaan dibawa-bawa, dasar tong sampah! Gara-gara tong sampah nama kekuasaan ikut dicatut. Bisa-bisa kekuasaan ikut masuk ke dalam tong sampah.
Setelah pemberitaan yang ramai beberapa tahun lalu soal kota Ruteng yang masuk dalam daftar salah satu kota terkotor di Indonesia. Kota-kota ini disebut sebagai kota terkotor berdasar penilaian penghargaan Adipura dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2017-2018.
Dalam pengumuman yang memalukan itu kota Ruteng termasuk kota paling kotor untuk kategori kota kecil termasuk di dalamnya Waikabubak di Sumba Barat, Waisai di Raja Ampat, Kabupaten Buol di Sulawesi Tengah, Bajawa di Kabupaten Ngada.
Nah atas kasus sampah tersebut, pasti yang dicari pertama kepala daerahnya. Siapa kepala daerahnya. Hayo,…ngaku! Kepala Dinas terkait juga ikut diseret dalam pergunjingan yang tidak terpuji itu.
Baca Juga: Vote Chelsea Ndagung Malam Ini di Pop Academy Indosiar
Namun kala itu semua bertanggungjawab kok, dengan berbicara di media. Mengungkapkan penyesalan, meminta maaf dan berjanji untuk memperbaiki. Kira-kira hal ini biasa dilakukan pada manusia umumnya saat melakukan kesalahan. Jadi ingat dosa!
Tong Sampah & Kekuasaan
Pembahasan ini mengingatkan saya arti Politik secara etimologi. Politik berasal dari kata bahasa Yunani yakni dari kata politikos yang berarti kewarganegaraan; politeia yang berarti penduduk warga negara; polis berarti kota atau negara. Negara atau kota adalah he koinonia politike tekhne yang berarti seni atau keterampilan menata kota.
“Menata kota” merupakan kata kunci untuk memahami bahwa apakah tempat sampah itu adalah hal yang penting di dalam kekuasaan. Para ahli mendefinisikan politik untuk mencapai atau merebut kekuasaan kata Robson. Sebelumnya Aristoteles menyebut politik adalah upaya mencapai kebaikan bersama.
Jadi Politik bukan hanya merebut kekuasaan tetapi juga merebut sampah. Dengan mengatur tempat sampah sedemikian rupa maka kotapun akan ditata dengan baik, bersih, sehat, rapi dan asri. Itulah das sollen (yang seharusnya), tapi yang das sein (yang ada) justru politik itu upaya-upaya kotor untuk mencapai kekuasaan. Tempat sampah kemana? Entahlah?
Baca Juga: Ini 7 Tempat Wisata Indonesia yang Wajib Kamu Kunjungi
Sangat baik juga ketika ada tempat sampah, orang langsung berpikir tentang kekuasaan. Supaya juga jangan menganggap remeh tempat sampah. Dari tempat sampah kita bisa belajar kinerja pemerintah tidak harus angka-angka di statistik tapi juga bagaimana yang terjadi di masyarakat sesungguhnya.
Di sini juga untuk memahami ternyata laboratorium ilmu politik itu luas. Tidak hanya di kelas-kelas yang mevah eh mewah dimana doktor-doktor dan profesor-profesor berbicara. Tapi juga dimana manusia itu berada sebab manusia itu makhluk politik atau zoon politikon mengutip Aristoteles.
Politik itu adalah dari kopi yang kita minum, obat yang kita telan, sampah yang kita buang, peresmian pipa air hingga pembangunan sebuah embung. Bukan saja soal sampah politik atau kekuasaan itu bahkan masuk ke klub malam hingga ke botol-botol bir bahkan ranjang yang terhormat.
So, harus paham politik sebab ia membayang-bayangi kita. Ia membuat kita merasa takut, nyaman, bangga, sedih, tidak adil ataupun tidak menginginkan semua itu.
Sehingga jangan alergi untuk berbicara politik sebab itu adalah hakikat kita, manusia politik. Saat ngopi pun kita harus membicarakan politik. Begitupun saat berhadapan dengan sampah kita harus berbicara kekuasaan. Maka buanglah sampah pada tempatnya dan buanglah kekuasaan pada tempatnya. Sekian dan terima kasih, tepuk tangan untuk saya.
Artikel Pilihan
- Delapan Film yang Berlatar Belakang Alam NTT yang Booming di Bioskop
- Ini Deretan Perempuan Istana yang Mengenakan Kain Tenun Manggarai
- Lebih Dekat Dengan Kuda-Kuda Liar di Savana Puru Kambera di Tanah Sumba
- Ini Spot yang Paling Diincar di Puru Kambera Sumba, Mirip Australia hingga Afrika