Vox Point Indonesia Ingin Paradigma Baru dan Dialog Inklusif Mengenai Persoalan Papua


Vox Point Papua

Eastjourneymagz.comMerespon rencana Otonomi Khusus (Otsus) jilid II di tanah Papua Organisasi Katolik Vox Populi Institut Indonesia atau Vox Point Indonesia menyerukan paragima baru dan dialog inklusif mengenai berbagai persoalan di tanah Papua. Hal tersebut diungkap dalam seminar online yang bertajuk “Membangun Papua dengan Paradigma baru,” pada Juma’at, 14 Agustus 2020.

Dewan Pakar Vox Point Indonesia, Adriana Elisabeth mengungkapkan seminar nasional mengenai Papua pertama kali diselenggarakan oleh Vox Point Indonesia. Ide ini bermula dari keprihatinan para Voxian mengenai kondisi Papua yang terus bergejolak dari waktu ke waktu.
Baca Juga

“Setelah melalui proses diskusi dan pembahasan yang cukup intens di internal Vox, topik seminar dan diskusi kali ini adalah mengenai ‘Membangun Papua dengan Paradigma Baru’,” kata Adriana Elisabeth.

Menurunya seminar ini untuk membuka pemahaman pemahaman atas akar masalah pembangunan dan tawaran solusi bagi Papua yang lebih baik di masa depan. Dalam kesempatan ini juga kata dia Vox Point Indonesia sekaligus  mengusulkan kepada pemerintah untuk mengubah pendekatan pembangunan.


“Pembangunan di Papua jangan lagi pada keberhasilan infrastruktur fisik semata, namun juga pada pembangunan non-fisik atau infrastruktur sosial,” bebernya.

“Terutama, dengan merealisasikan dialog damai Papua untuk membangun budaya tanpa kekerasan dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat Papua dalam menentukan arah pembangunan sesuai dengan karakeristik
Papua,” imbuh Adriana.
Ketua umum Vox Point Indonesia, Yohanes Handoyo Budhisedjati mengungkapkan membahas tanah Papua merupakan berbicara tentang nasib anak Papua di dalam NKRI.  Berbagai persoalan dan penderitaan termasuk ketidakadilan dan pelanggaran HAM tidak pernah selesai walaupun silih berganti presiden.
Dalam kesempatan tersebut ia juga menyoroti soal Otsus yang hangat di bicarakan ahir-akhir ini. Menurutnya, Otsus hanya menguntungkan kelompok tersentu sehingga perlu dievaluasi.
“Otonomi khusus yang dilaksanakan di tanah Papua sejak tahun 2001 harus dievaluasi kembali. Apakah Papua sudah sejahtera seperti maksud awal. Fakta berbicara lain, rakyat Papua tetap terpinggirkan. Harus diakui juga bahwa pihak elitlah yang mendapat untung dari dana otsus sejak tahun 2000-an,” beber Handojo.
Baca Juga

Ia menambahkan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah pusat harus diakui sebagai bentuk perhatian pemerintah pusat terhadap seluruh rakyat. Namun juga harus diakui bahwa di Papua hasil tersebut masih juga dinikmati oleh warga pendatang , bukan warga asli.

“Hal ini karena keliru dalam meahami adat dan budaya setempat. Ironois. banyak usaha yang didonminasi oleh warga pendatang. Ketimpangan akan terus terjadi jika akses bagi warga Papua asli di berbagai bidang tidak dibuka. Belum lagi karena ketertarikan asing terhadap alam Papua. penengan Papua haurus terintegrasi agar mengetahu masalah,” bebernya.

Sebelumnya Vox Point Indonesia menyurati Jokowi untuk membuka dialog inklusif  dengan masyarakat Papua terkait rencana Otonomi Khusus (Otsus) jilid II di tanah Papua. Dalam salinan surat tersebut Vox Point Indonesia juga menuntut agar pemerintah pusat mengevaluasi Otsus jilid I yang dinilai gagal membangun Papua

Vox Point Indonesia dalam surat tersebut mengungkapkan pelaksanaan UU Otonomi Khusus Papua yang sudah berjalan sejak tahun 2001 sampai saat ini, dinilai gagal dan tidak bermanfaat oleh berbagai kalangan.

“Masyarakat Asli Papua sendiri menilai Otsus Jilid 1 tidak memberikan banyak manfaat bagi kebaikan dan kesejahteraan Masyarakat Asli Papua pada umumnya, terutama dalam mengelola wilayah Papua secara politik, ekonomi dan budaya,”  bunyi surat itu.

Vox Point Indonesia meminta agar membangun Dialog Inklusif antara Pemerintah Pusat dan Masyarakat Asli Papua untuk mengevaluasi secara menyeluruh atas pelaksanaan Otonomi Khusus selama ini.

Evaluasi mendesak untuk dilakukan sebelum direncanakan akan diperpanjang Otonomi Khusus “Jilid Dua” di Tanah Papua,” kata surat yang tertanggal 5 Agustus 2020 tersebut.

Lebih lanjut organisasi yang memiliki tagline mengembangkan nilai-nilai kebangsaan ini membeberkan diperlukan pemaknaan baru yang lebih komprehensif mengenai Otonomi Khusus Papua, dimana Otonomi Khusus tidak hanya diukur dalam batas dan situasi penyaluran dana triliunan rupiah, tetapi lebih kepada sentuhan kemanusiaan.

“Hal ini berkenaan dengan harga diri Masyarakat Asli Papua sebagai manusia yang bermartabat, dan memiliki hak untuk hidup di tanah Papua sebagai tempat warisan para leluhurnya,”

“Diperlukan penyelesaian masalah pelanggaran HAM di Papua pada masa lalu, dan penyelesaian konflik di masa kini yang dipicu oleh sejumlah hal, termasuk penghentian kekerasan dan penyelesaian masalah diskriminasi rasial,” tutup surat itu.

Pembicara yang hadir dalam seminar ini adalah Rektor Universitas Katolik Parahyangan Bandung, Mangadar Situmorang sebagai Keynote Speaker; pakar pendidikan Vience Tebay; pakar kesehatan, Innah Gwijangge; tokoh masyarakat Merauke, John Gluba Gebze; Pengurus Pusat KAPP dan Duta Komoditas Papua, Meki Wetipo; anggota DPRD Papua, John NR Gobai; SekretarisDaerah Kota Jayapura, Frans Pekey, dan Wakil Bupati Keerom, Piter Gusbager.


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous post Koalisi Masyarakat Koral Serukan Pembebasan Nelayan dan Aktivis yang Berunjukrasa terhadap Nurdin Abdullah
Next post Malaysia Menutup Wisatawan Medis Pasca Kunjungan 3 Pasien Indonesia