Teater Taki Mendi Upaya Membongkar Sejarah Perbudakan Terhadap Suku Manggrai di Batavia
Adegan Seorang Prajurit yang mengintai para budak. Photo by: Gabriel Mahal |
Eastjourneymagz.com – Senja itu saya benar-benar ketakutan. kala itu teater “Taki Mendi” yang merupakan sebuah catatan perbudakan terhadap suku Manggarai di Batavia hendak kami pentaskan dalam Festival Budaya Manggarai Jakarta yang diselenggarakan oleh Komunitas Perempuan Manggarai (KPM) di Anjungan NTT Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
Ketakutan itu juga bukan karena puisi Mandosawu yang saya bacakan pada prolog teater itu. Secuil puisi yang melukiskan ketakutan dan kesepian Mandosawu karena ia adalah gunung (Poco) yang setia menyaksikan segala suka dan duka, tragedi dan sukacita di tanah Manggarai. Termasuk tragedi perbudakan kala itu. Bohong kalau Mandosawu tidak tau.
“Mandasawu tidak lagi melihat petani yang menabur dan nelayan yang mendayung perahunya. Ia melihat buih-buih ombak menjadi darah!” begitu kira-kira puisi itu.
Saya merasa takut karena teater yang segera akan kami bawa di luar dari apa skema yang direncanakan. Perubahan bahkan terjadi di saat-saat detik-detik terakhir itu.
Dalam latihan kami (Teater Komunitas Lingko Ammi), ada banyak media yang digunakan. Kami bahkan menggunakan tehnik pencahayaan. Ada beberapa lampu yang sudah kami siapkan.
Saya cemas karena ada beberapa adegan yang seharusnya kami sembunyikan melalui tehnik pencahayaan karena sedari awal kami menyadari tidak akan menggunakan layar.
“Mampuslah teaterku!” gumam saya kala itu.
“Kaka sopi dulu!” bisik salah satu aktor yang sudah mencurigai kepala saya yang hampir pecah.
“Seperempat saja ya, saya tidak makan dari pagi!”
Saya seperti tersugesti sehabis menyeruput Sopi itu. Pikiran mulai mengalir dan para pemain teater mulai mengitari saya.
Sembari memakai Body Painting di badan mereka yang berwarna silver saya meminta mereka untuk memotong beberapa adegan termasuk penggunaan cahaya (lampu sorot) dan penggunaan Obor serta api.
“Bagi saya media-media itu sangat magis, karena api memiliki kedekatan dengan Manusia!”
Saya berusaha meyakinkan mereka bahwa dalam keadaan apapun mereka bisa. Meski dalam hati saya tahu seturut pengakuan mereka bahwa kebanyakan dari mereka baru pertama kali bermain teater dan ditonton oleh banyak orang.
Melihat wajah mereka yang penuh optimis perlahan-lahan ketakutan saya mulai lenyap.
“Kita harus tunjukkan yang terbaik untuk ibu-ibu dan ayah-ayah kita yang menonton kita sore ini!” kata salah seorang pemain.
“Buat mereka tersenyum!” kata yang lain.
Mendengar kata-kata itu saya tidak mempunyai beban lagi. Saya hanya menginstruksikan apa-apa yang perlu dihilangkan, ditambahkan atau dikembangkan.
Catatan Perbudakkan: Asal Mula Nama Manggrai Jakarta
Banyak sekali mata acara yang meramaikan Festival ini  mulai dari tarian caci,ndundu ndake, sanda, mbata dan danding serta Fashion Show termasuk juga sebuah persembahan teatrikal Opera dari kami yang tergabung dalam Komunitas Lingko Ammi (Komunitas Anak Manggarai yang peduli terhadap Seni dan Budaya)
Teater opera ini berupaya mengangkat sebuah catatan kecil tentang kisah-kisah perbudakan di tanah Batavia di zaman kolonial serta menelusuri jejak sejarah cikal bakal penamaan Manggarai di Jakarta.
Teater ini akan dimulai dengan narasi perbudakkan di tanah Batavia. Narasi yang mengisahkan bagaimana para budak di tangkap, di bawa ke Reok dimana srbuah kapal sedang menunggu dan akan dibawa ke Bima, Goa dan Batavia.
Di dalamnya mengangkat lagu-lagu klasik Manggarai, Sanda, Mabata dan Ninggo yang memiliki unsur tragedy. Lagu-lagu yang mengisahkan pemberontakkan.
“Taki mendi” mengisahkan keluarga para budak Manggarai yang dibawa ke Batavia oleh Belanda. Mereka adalah Para budak yang dibawa dari jalur Kerajaan Bima yang saat itu menguasai Tanah Manggarai. Teater ini disesuaikan dengan kisah dalam buku `Asal-usul Nama Tempat di Jakarta` yang ditulis oleh sejarahwan Rachmat Ruchiat.
Dalam buku itu, dijelaskan orang-orang Flores pertama kali menempati wilayah Manggarai sekitar tahun 1770. Bukti yang menguatkan jika nama Manggarai diambil dari nama salah satu daerah di Nusa Tenggara Timur ialah dengan ditemukannya sebuah tarian bernama Lenggo setelah Perang Dunia II oleh seorang ahli etnomusikalogi, Jaap Kunst. Dalam bukunya `Java Jilid II`, Jaap Kunst menyajikan gambar tarian khas tersebut.
Tarian tersebut memiliki nama mirip dengan tarian asal Betawi, Belenggo. Tarian Belenggo dalam salah satu seni budaya Betawi biasanya dimainkan oleh kaum pria. Tarian ini memadukan antara gerakan tarian dan seni pencak silat.
Gerakan tariannya lebih banyak menampilkan gerak langkah dan membungkuk. (Tarian tersebut memiliki nama mirip dengan tarian asal Betawi, Belenggo. Tarian Belenggo dalam salah satu seni budaya Betawi biasanya dimainkan oleh kaum pria)
Fiksi Historis
Ciri kisah drama opera ini adalah fiksi historis. Fiksi sejarah adalah sebuah genre kesusastraan di mana alurnya terjadi dalam sebuah setting yang berada pada masa lampau. Fiksi sejarah dapat menjadi sebuah istilah payung: meskipun umumnya digunakan sebagai sebuah sinonim untuk menyebut novel sejarah; istilah tersebut dapat ditujukan kepada karya-karya yang diaplikasikan pada karya-karya dalam format naratif lainnya, seperti karya-karya dalam seni rupa dan seni pertunjukan seperti teater, opera, perfilman dan televisi, serta permainan video danm novel grafis.
“Kami mengetahui kelemahan fiksi historis adalah dimana tidak ada otensitas historisnya seperti ketokohan, latar dan waktu. Akan tetapi itu pernah dan benar-benar terjadi.”
kekhasan drama ini adalah bergaya surealis dan berkekuatan pada gestikulasi. Mengisahkan ketakutan dan trauma para Budak. Kisah-kisah perjalanan yang berbulan-bulan mengambang tak pasti di laut lepas. Budak-budak yang dibuang begitu saja di lautan. Mereka yang tersisa akan dibawa ke Batavia entah menjadi selir, Pekerja kebun hingga membuka jalan. Mereka adalah Budak.
Di sisi lain, sebagaimana diri mereka adalah manusia adanya, juga memiliki perasaan, cinta, rasa sepi, amarah dan pemberontakan. Mereka dibawa ke tanah Batavia, meski sebagai budak mereka tidak bisa menyangkal identitas mereka sebagai orang Manggarai.
Pada akhir cerita setelah mereka dijual, mereka mengalami kematian. Kecuali seorang tetua yang meratapi kepergian mereka yang lain. Di titik ini si tetua berdoa pada leluhur (ceki agu wura) agar mendapat berkat kemerdekaan saat sekarang dan akhirat. Ia tetap memiliki kekuatan meski berada di tengah serakan mayat.
Ingin Kritik
Saya sebagai penyusun naskah ini dan yang menyutradarai teater ini merasa sangat tepat untuk membawakan teater dalam Festival yang diselenggarakan oleh KPM, Ikatan Keluarga Manggarai Kebun Jeruk (IKMKJ) dan Sanggar Ca Nai Kali Malang. Saya bangga memiliki tiga komunitas ini.
Saya juga ingin teaterikal ini bukan sekadar penampilan panggung semata dan pengisi acara Festival melainkan sebuah upaya untuk merongrong berbagai penelitian lebih lanjut tentang perbudakan ini.
“Teater ini adalah percikan api yang harus ditangkap, agar ia menjadi cahaya dalam sejarah yang dibungkam!” begitulah pikiran saya dari awal.
Saya juga menginginkan agar karya ini dikritik dari sisi apapun. Saya menyadari bahwa kritik akan memperkaya sebuah gagasan. Saya menunggu kritikan-kritikan itu.