Budaya kerja Jepang/ Sumber jotaku.net

Yuk Intip Budaya Gila Kerja di Jepang

Eastjourneymagz.com–Budaya kerja di Jepang terkenal dengan dedikasinya yang tinggi, disiplin, dan komitmen yang mendalam terhadap pekerjaan.

Dikenal dengan istilah “karoshi” yang berarti kematian karena kerja berlebihan, fenomena ini mencerminkan sisi gelap dari etos kerja yang intens di Jepang.

Banyak pekerja di Jepang menghabiskan waktu yang sangat lama di kantor, sering kali bekerja lembur tanpa henti untuk memenuhi ekspektasi perusahaan dan menunjukkan loyalitas mereka.

Fenomena kerja berlebihan ini bukan hanya tentang jam kerja yang panjang, tetapi juga tentang tekanan sosial dan budaya yang kuat.

Di banyak perusahaan, ada ekspektasi tidak tertulis bahwa karyawan akan bekerja melebihi jam kerja standar, menghadiri pertemuan atau acara sosial setelah jam kerja, dan menunda penggunaan cuti tahunan mereka.

Keberadaan sistem hierarki yang kuat dan tekanan dari rekan kerja serta atasan menambah beban psikologis yang dirasakan oleh banyak pekerja.

Meskipun pemerintah Jepang telah mencoba menerapkan berbagai reformasi untuk mengurangi jam kerja berlebihan dan mendorong keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, perubahan ini berjalan lambat.

Budaya kerja yang mendalam dan tradisional ini masih mempengaruhi banyak aspek kehidupan sehari-hari di Jepang, menciptakan tantangan besar bagi kesejahteraan fisik dan mental para pekerja.

Pekerja bisa tidur di jalanan karena ngantuk/ sumber: nevsedoma.com.ua

Jam Kerja Resmi dan Budaya Lembur

Menurut undang-undang ketenagakerjaan Jepang, jam kerja resmi adalah 40 jam per minggu, atau 8 jam per hari, dengan satu hari libur wajib per minggu.

Namun, praktik lembur sangat umum terjadi di banyak perusahaan Jepang. Lembur (overtime) sering kali diharapkan dan dianggap sebagai tanda dedikasi dan loyalitas karyawan terhadap perusahaan.

Undang-undang juga mengatur bahwa pekerja tidak boleh bekerja lebih dari 45 jam lembur per bulan atau 360 jam lembur per tahun.

Namun, ada pengecualian tertentu yang memungkinkan perusahaan untuk meminta lebih banyak lembur dalam keadaan tertentu, asalkan karyawan diberikan kompensasi yang sesuai.

Lembur atau “overtime” merupakan fenomena yang sangat umum dalam budaya kerja di Jepang.

Meski undang-undang ketenagakerjaan mengatur jam kerja dan lembur, praktik di lapangan sering kali menunjukkan bahwa karyawan bekerja lebih lama daripada yang ditentukan oleh undang-undang.

Lembur di Jepang sering kali bukan hanya soal kebutuhan pekerjaan, tetapi juga merupakan bagian dari budaya perusahaan.

Karyawan sering merasa wajib untuk tinggal lebih lama di kantor, bahkan ketika pekerjaan mereka sudah selesai, sebagai bentuk solidaritas dengan rekan kerja dan untuk menunjukkan komitmen mereka kepada perusahaan.

Hal ini dikenal sebagai “presenteeism,” di mana kehadiran fisik dianggap penting, meskipun tidak selalu berkorelasi dengan produktivitas.

Gaji Lembur

Gaji lembur di Jepang diatur oleh undang-undang ketenagakerjaan. Karyawan yang bekerja melebihi 40 jam seminggu berhak atas kompensasi lembur.

Tarif gaji lembur di Jepang biasanya lebih tinggi dari tarif gaji biasa. Untuk jam-jam lembur, pekerja dibayar minimal 125% dari gaji biasa mereka.

Pada hari libur, tarif ini dapat meningkat menjadi 135% dari gaji biasa. Jika lembur dilakukan di malam hari (dari pukul 10 malam hingga 5 pagi), gaji lembur bisa lebih tinggi lagi, biasanya sekitar 150% dari gaji normal.

Kompensasi untuk lembur bertujuan untuk mencegah pemberlakuan jam kerja yang berlebihan oleh perusahaan dan untuk memberikan insentif bagi pekerja untuk menyelesaikan pekerjaan mereka dalam waktu normal jika memungkinkan.

Namun, terdapat kekhawatiran bahwa struktur gaji lembur ini juga bisa menjadi insentif bagi perusahaan untuk mengeksploitasi karyawan yang bersedia bekerja jam extra karena kompensasi yang tinggi tersebut.

Secara keseluruhan, struktur hari libur dan gaji lembur di Jepang dirancang untuk mendukung kesejahteraan pekerja.

Meskipun demikian, masih ada tantangan dalam penerapannya, terutama terkait dengan budaya kerja yang sangat berorientasi pada pekerjaan keras dan loyalitas terhadap perusahaan.

Budaya Kerja Intens (Karoshi dan Nomikai)

Acara minum-minum setelah kerja atau nomikai/ foto nautiljon.com

Budaya kerja di Jepang sangat menekankan pada kerja keras, loyalitas, dan pengabdian.

Karyawan sering kali merasa tekanan untuk bekerja lembur, meskipun mereka tidak dibayar tambahan, demi menunjukkan komitmen mereka kepada perusahaan.

Hal ini dapat mengarah pada apa yang dikenal sebagai “karoshi” atau kematian karena kerja berlebihan, fenomena yang mendapat perhatian global dan kritik keras.

Kehidupan kerja di Jepang juga dikenal dengan praktik “nomikai” atau acara minum-minum setelah kerja, yang dianggap sebagai bagian dari budaya perusahaan.

Meskipun ini dapat mempererat hubungan antar karyawan dan manajemen, sering kali kegiatan ini menjadi tambahan waktu yang dihabiskan di luar jam kerja resmi.

Jadi, semakin memperpanjang waktu yang dihabiskan untuk urusan pekerjaan.

Kebiasaan ini tentu saja dapat mengurangi waktu untuk keluarga dan kegiatan pribadi.

Hari Libur

Di Jepang, hari libur nasional dan cuti tahunan merupakan bagian penting dari regulasi ketenagakerjaan yang dirancang untuk memberikan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.

Jepang memiliki sejumlah hari libur nasional yang diatur oleh pemerintah, termasuk Hari Tahun Baru, Hari Anak, dan Hari Kaisar, antara lain. Selain itu, menurut undang-undang, pekerja berhak atas satu hari libur per minggu, biasanya hari Minggu.

Pekerja juga berhak atas cuti tahunan yang berjumlah minimal 10 hari setelah bekerja secara kontinyu selama enam bulan dan telah bekerja minimal 80% dari hari kerja total. Jumlah hari cuti ini meningkat dengan bertambahnya tahun-tahun kerja di sebuah perusahaan.

Namun, dalam praktiknya, banyak pekerja yang enggan mengambil cuti penuh mereka karena alasan budaya dan tekanan pekerjaan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous post Harus Sering Kontrol, Ini Loh Efek Konsumsi Garam Berlebihan
Next post Berwisata ke Tanah Lot, Spot Terbaik Mengabadikan Senja