DPR Sebut Omnibus Law Mengurangi Angka Pengangguran, Pengamat Bukan Solusi yang Tepat


Ilustrasi PHK/ Foto Okezone

Eastjourneymagz.com–Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Melkiades Laka Lena mengungkapkan diterbitkanya Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) dapat menekan angka pengangguran di tanah air termasuk saat pandemi corona (Covid-19).

Menurutnya UU Ciptaker membuat iklim investasi kondusif dan menciptakan banyak lapangan pekerjaan.

“Sebelum Covid-19 saja, angkatan kerja sangat tinggi, apalagi saat ini. UU Ciptaker dapat mengatasi persoalan ini (pengangguran) karena menciptakan iklim investasi yang baik dan membuka banyak lapangan kerja,” kata

Melki dalam Webinar Nasional Vox Point Indonesia yang bertajuk Marak PHK Massal, Kita Bisa Apa? di Jakarta, Selasa (13/10).

Melki menyebut persoalan angkatan ketenagakerjaan Indonesia begitu tinggi akibat aturan yang tumpang tindih dan birokrasi yang rumit. Hal itu kata dia membuat Presiden Indonesia Joko Widodo menyederhanakan aturan tersebut melalui UU Ciptaker.

Baca Juga: Daripada Pangku Kaki Saja, Mari Belajar dari Sang Gembala Babi dari NTT yang Omzetnya Hingga Miliaran 

“Presiden berkali-kali mengatakan kita butuh penyederhanaan perizinan agar dunia usaha kita lebih kondusif. Kita butuh memangkas birokrasi dan peraturan kita yang tumpang tindih sejumlah 43.000 aturan,” bebernya.

Politisi Golkar tersebut mengakui Jokowi berkomitmen pada periode ke-2 (saat ini) untuk mempermudah dunia kerja di Indonesia dengan menyederhanakan peraturan, mempermudah perizinan dan memangkas birokrasi.

Selain itu Melki membeberkan puncaknya saat pelantikan Jokowi periode ke-2 pada  20 oktober 2019. Jokowi dalam materi pidatonya menyebut akan mendorong UU Ciptaker di Indonesia. 

“Ini untuk menyingkronkan aturan kita yang tumpang tindih antara kementrian satu dengan kementrian yang lain, lembaga yang satu dengan lembaga lainnya hingga pemerintah pusat dan daerah.”

Melki menjelaskan pemerintah Indonesia belajar dari kasus relokasi 23 perusahaan China ke Vietnam. Perusahaan dari negeri Tirai Bambu tersebut memindahkan puluhan perusahaan ke Vietnam karena dianggap iklim investasi di sana lebih kondusif dibandingkan dengan negara lain.

“Itu bukan karena sistem politik tapi karena di Vietnam lebih kondusif. Penggerak ekonomi akan membantu untuk membuka lapangan pekerjaan,” tuturnya.

Soal UU Ciptaker yang saat ini menuai polemik di masyarakat Melki berharap agar tetap bersikap kritis terhadap UU tersebut. Meskipun demikian ia meminta agar semua pihak baik di posisi pro maupun kontra agar tidak membiarkan pihak yang berusaha menumpang UU Ciptaker ini.

“Isi dari UU Ciptaker bisa diperdebatkan, klaster demi klaster, ayat demi ayat, tentu ada satu dua hal yang perlu penyempurnaan dan untuk diperbaki. Tapi kita juga jangan membiarkan orang yang memiliki kepentingan dan agenda politik jangka pendeknya untuk mengganggu pemerintahan Jokowi,” pinta Melki.

Ormas menolak omnibus law/ Foto Media Indonesia

Lebih lanjut Melki menjelaskan tidak ada yang sempurnah di dalam proses politik sehingga semua pihak bisa menyempurnahkan keputusan tersebut. Menurut

Melky tidak ada UU yang kekal dan abadi bahkan UUD 1945. Oleh karena itu ada banyak cara untuk menyempurnakan UU Ciptaker yang masih menuai pro dan kontra tersebut.

“Melalui judicial review, atau melalui berbagai fraksi di DPR RI, apa-apa yang masih kurang itu bisa kemudian diperbaiki melalui UU yang menjadi induk dari setiap aturan ini. UU Ciptaker bisa diperbaiki, apabila juga masih ada yang kurang,” kata dia.

Pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara sebaliknya mengungkapkan UU Ciptaker bukanlah solusi yang tepat terutama saat berhadapan dengan situasi faktual saat ini (Covid-19). Menurutnya yang harus dilihat adalah jangka pendek dan jangka panjang UU Ciptaker dikaitkan dengan situasi hari ini.

“Bagaimana mungkin kita membuka lapangan pekerjaan walaupun ada regulasi yang sangat bagus sekalipun, belum tentu bisa mendorong untuk menciptakan lapangan pekerjaan, karena yang dihadapi secara faktual hari ini adalah covid 19,” bebernya.

Baca Juga: Pegunungan Tianzi -China, Pegunungan Avatar  

Menurutnya kondisi ini menjadi pertimbangan penting bagi pelaku usaha, para investor bahkan UMKM, untuk menambah ekspansi usahanya. Indonesia kata dia masih kalah jauh soal perbandingan penanganan covid 19 dengan negara Asia lainnya.

Ia menyebut penanganan Covid-19 memiliki kaitan dengan relokasi industri pasca perang dagang atau saat perang dagang  terjadi. Mayoritas perusahaan asal China lebih memilih Vietnam untuk melakukan relokasi daripada Indonesia.

“Kenapa? Selain karena kepastian regulasi yang lebih baik di Vietnam, tapi yang lebih menarik lagi bagaimana respon terhadap penanganan pandemi Covid-19. Ini makin ke sini makin banyak perusahaan yang makin mengincar Vietnam bukan Indonesia,” kata dia.

Ia menambahkan pemulihan ekonomi juga memiliki kaitan dengan penanganan Covid-19. Dari angka petumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal kedua berada di angka minus 5,3 persen YoY, sementara China sudah positif di kuartal kedua dengan angka 3,2 persen YoY, sedangkan Vietnam di kurtal yang sama sudah positif yakni 0,3 persen YoY.

“Jadi ada negara yang saat ini pemulihan ekonominya lebih cepat sehingga bisa ke luar dari resesi ekonomi. China itu minus 6,81 persen pada waktu kuartal pertama tahun 2020 dan kuartal kedua sudah positif. Sebaliknya Indonesia di kuartal kedua dan ketiga
negatif,” tuturnya.

“Artinya tetap ada korelasi yang paling utama antara seberapa cepat penangan pandeminya, dan itu berpengaruh kepada pemulihan ekonomi. Maka pertumbuhan kita bisa tinggi lagi, bisa kembali lagi stabil dan akan menciptakan lapangan pekerjaan,” imbuhnya.

Dalam kesempatan tersebut, ia juga menyoroti soal fundamental masalah ekonomi Indonesia. Ia menyebut ekonomi Indonesia high cost terutama karena faktor korupsi yang merajalela di Indonesia. Vietnam kata dia dipilih oleh investor karena angka korupsinya kecil bila dibandingkan dengan Indonesia.

“Kenapa Vietnam lebih menarik karena kalau kita menyuap birokrat yang paling atas maka birokrat yang paling bawa atau unit terkecil sudah satu paket. Sementara Indonesia terlalu banyak tangan atau mulut untuk di suap. Bahkan sampai di desa hingga kecamatan. Korupsi kita terdesentralisasi sementara Vietnam korupsinya juga cukup tinggi tapi korupsinya tersentralisasi, itu yang membuat investor lebih memilih Vietnam. Itu masalah kepastian hukum,”
tutupnya.

Diketahui seminar nasional tersebut dibuka langsung oleh Ketua Umum Vox Point Indonesia Yohanes Handoyo Budhisedjati. Narasumber lain dalam diskusi tersebut adalah Direktur  Hukum Vox Point Indonesia B. Woeryono dan Ketua Umum OK OCE Indonesia Iim Rusyamsi.

Baca Juga: GO”ET Seni Sastra Manggarai 


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous post Indahnya Foto di Salar de Uyuni, Dataran Garam Terbesar dan Terluas Dunia
Next post Saat Anda Candu Kopi, Jangan Khawatir Dua Toko Jenius Ini Pernah Seperti Anda