Refleksi Hari Buku Nasional; Dongeng yang Membangkitan Gairah Baca Buku


Mendongeng untuk anak-anak/ Foto Spesial.

Eastjourneymagz.comDi hari buku nasional ini, saya mengangkat tema soal dongeng. Saya juga tau bahwa hari dongeng nasional masi jauh di penghujung tahun yakni setiap 28 November seiring dengan kelahiran Drs. Suyadi atau yang akrab dipanggil Pak Raden.

Saya melihat bahwa ada banyak dongeng yang didokumentasikan melalui buku namun sangat sedikit orang tua yang mengambil kesempatan untuk membacakan dongeng bagi anaknya.

Meski di sisi lain berkurangnya penuturan  dongeng ini terbantu oleh perkembangan digital sehingga dongeng menjadi materi animasi yang disiarkan melalui TV, Yotube dan media sosial.

Saya teringat lagi akan orang tua zaman dulu yang benar-benar mewarisi tradisi dongeng ini. Apalagi pada periode tahun 90-an ke bawa. Dongeng menjadi santapan sebelum tidur.

Nah menariknya mendengarkan dongeng dari penutur (baik orang tua, nenek dan kakak) terjadi interaksi dua arah. Si anak tidak akan terkungkung dalam imajinasi tapi dia juga terlibat dalam pertanyaan-pertanyaan yang cukup kritis.

Ya tentu beda halnya dengan menonton TV atau video-video di berbagai platfom media sosial dimana anak-anak akan menelan mentah-mentah informasi yang didapatkan. Tidak ada tanya jawab dari anak-anak, yang ada hanyalah duduk, diam dan mendengarkan.

Bagi saya ini cenderung untuk mengangangkangi nalar kritis anak. Pada hal jika daya kritis ini berkembang terus menerus maka akan berguna bukan hanya bagi dirinya tapi juga bagi bangsa dan negara.

Kemendikbud menjelaskan dengan baik mengenai fungsi dongeng bagi perkembangan anak. Dongeng bukanlah kegiatan menidurkan anak tapi sebaliknya membantu perkembangan pada otak kanan anak, psikologis, kecerdasan emosional serta meningkatkan imajinasi pada anak.

Manfaatnya Untuk Literasi

Anak-anak sedang membaca buku/Foto Spesial

Membangun literasai nasional bagi saya adalah sebuah kebohongan tanpa membangun lagi tradisi mendongeng ini. Jadi kalau pak Menteri atau pengamat pendidikan berseru-seru soal membaca dan membaca itu akan menjadi sia-sia tanpa fondasi dongeng ini.

Apa yang saya ungkapkan ini juga pernah dikatakan oleh Mendikbud Nadiem Makarim dalam wawancaranya dengan Tirto.id tahun lalu bahwa mendongeng menjadi sarana yang membangkitkan imajinasi anak. Menurut Nadiem modal inilah yang akan di bawa anak-anak pada masa mendatang.

Nadiem juga menekankan makna mendongeng yang berimplikasi bagi anak-anak agar semua senang dan mencintai cerita dan buku. Kata dia, cerita – cerita itu lah yang menciptakan imajinasi di dalam otak anak-anak. Kemampuan dalam berpikir dan membayangkan hal – hal di otak adalah kunci kesuksesan di masa depan.

Dalam pernyataan Nadiem di atas, saya menggaribawahi soal mencintai cerita dan buku. Di sini sangat jelas bahwa tradisi mendongeng ini sangat membantu perkembangan literasi.

Semakin anak-anak disuguhkan dongeng, ia akan menjadi penasaran dan kalau berhadapan dengan buku ia pasti melahapnya. Itulah tahapan yang penting bagi saya, soal mencintai. Ketika seorang masuk dalam tahap mencintai (membaca) maka ia akan mencari apa yang ia cintai (buku).

Yang terjadi saat ini adalah para pengampuh kepentingan tidak membicarakan lebih jauh (dan terutama tehnis di lapangan) soal mendongeng bagi anak-anak. Padahal masa kecil adalah masa emas dimana otak sedang berkembang.

Jadi jangan heran jika literasi bangsa kita minus padahal kita lahir dari negeri yang kaya literasi yang sebagian besarnya masih membeku dalam rahim bumi Indonesia (belum dituliskan). Bagi saya bicara buku (nasional) adalah bicara dongeng juga sebab dari situlah benih-benih membaca.

Tapi semuanya belum terlambat, mari kita mulai lagi sebab kita belum berbuat apa-apa.


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous post Menyaksikan Kota Kuno Cappadocia, Turki dari Balon Udara
Next post Lima Buku yang Membahas Sejarah, Budaya hingga Cerita Rakyat Manggarai