Video Intim, alat Penguasaan Terhadap Lawan Jenis


Eastjourneymagz.comDengan perkembangan teknologi pasangan juga memiliki transformasi dalam kegiatan privatnya. Ada yang berusaha mengelaborasi tubuhnya, cara berbusana yang erotis, memamerkan bokong termasuk potret bibir yang sensual.

Tidak ketinggalan juga saat melakukan adegan dengan lawan jenis media seperti kamera video dilibatkan. Tidak hanya orang biasa, publik figur bahkan senang melakukan hal itu untuk kebutuhan pribadinya.

Hal yang aktual adalah kasus artis Gisel dan MYD. Selain itu sebelumnya Ariel, Cutari dan Luna Maya. Semuanya itu membuat publik heboh dan penasaran sehingga selalu meluangkan waktu di media sosial.

 Baca Juga: Kisah Lagu Natal, Silent Night yang Menghentikan Sementara Perang Dunia Pertama

Dulu pernah ada juga video mesum Ketua KPK Antasari Azhar dengan Rani. Datang dari luar negeri, Sineenat Wongvajirapakdi, selir Raja Thailand, Raja Maha Vajiralongkorn juga saat ini diterpa skandal bocornya foto-foto pribadinya.

Semua itu adalah data-data pribadi yang tiba-tiba bocor ke publik. Sehingga pada awalnya untuk konsumsi pribadi dan setelah disebarkan (dengan berbagai motif) itu menjadi konsumsi publik.

Rana Pidana

Pelaku penyebaran video vulgar ke publik merupakan tindakan pidana. Hal ini dianggap sebagai penyebaran konten yang melanggar kesusilaan dan diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 19 Tahun 2016.

Pasal 27 Ayat 1 UU itu mengatur bahwa seseorang dapat dijerat pasal UU ITE jika menyebarkan dokumen elektronik yang bermuatan konten melangar kesusilaan.

Bunyi pasal bunyi Pasal 27 Ayat 1: Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.

Sementara pelaku penyebaran konten bermuatan asusila dapat dijerat sanksi pidana maksimal 6 tahun atau denda maksimal Rp 1 miliar.

Pasal 45 Ayat 1: Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.

Pasal 29 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi menyebut seseorang yang turut memperbanyak video bermuatan konten asusila dapat dipenjara maksimal 12 tahun.

Bunyi Pasal 29: Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 250 juta dan paling banyak Rp 6 miliar.

Untuk kasus Gisel dan MYD dijerat dengan Pasal 4 Ayat 1 juncto Pasal 29 dan atau Pasal 8 Undang Undang Nomor 44 tentang Pornografi. Keduanya terancam hukuman penjara paling rendah enam bulan, paling tinggi 12 tahun penjara.

Baca Juga: Gisel Berbagi Momen Natal Bersama Gempi, Gading Marten hingga Wijin   

Yang Privat dan Yang Publik

Dua hal ini yang menjadi perdebatan publik. Mengapa negara mengurusi selangkangan? Ada pula yang memberatkan pada pelaku penyebaran. Dalam hal ini pelaku penyebaran dianggap sebagai yang paling
bertanggungjawab sementara pembuat video merupakan korban.

Karena itu negara dianggap terlalu jauh mengambil andil dalam ranah privat warganya. Negara telah turun untuk masuk ke kamar warga yang sedang “asyik menikmati” fantasi mereka. Terlalu urus campur dengan selangkangan dan lubang anus warga.

Fantasi warga (dalam video atau foto) tersebut tiba-tiba berselancar ke publik memang perlu tindakan dari negara. Terutama dalam hal ini adalah soal pelaku penyebaran. Merekalah dianggap paling bertanggungjawab sebab telah merubah status video, dari kamar (privat) menjadi urusan publik (rana publik).

Sementara warga pemilik “fantasi” tadi adalah korban. Pertama, soal urusan “fantasi” biarkan mereka (warga) melakukan itu sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan mereka. Kedua, Negara tidak boleh juga mencampuri mereka merekam dengan video atau bukan, menggunakan doggy style atau women on top. Dengan kata lain negara tidak boleh mengebiri Fantasi warganya selama itu menjadi urusan pribadi.

Maka karena itu para pelaku penyebaran mesti diusut tuntas motif dari penyebaran tersebut. Bukan tidak mungkin itu lebih dari keisengan belaka. Sebab misalnya untuk pelaku video Gisel dan MYD membuat videoctersebut dengan cara merekamcmenggunakan hp yang lain dengan tujuan menghilangkan jejak.

Inikan yang perlu dicari. Artinya pelaku dengan tau dan mau membuat tindakan tersebut. Pelakunya juga paham dengan sistem informatika karena ia tahu mana tindakan yang bisa memberi resiko yang tinggi untuknya. Ia melakukan perekaman dari kamera yang lain tentu saja untuk menghilangkan jejak.

Apakah kemudian pelaku penyebaran tersebut karena motif saingan bisnis, memeras pelaku, ingin menghancurkan karir pelaku, bahkan menyerang secara pribadi pelaku agar psikologinya hancur dan hidupnya berantakan.
Dalam hal kasus Gisel, hal ini yang perlu dilihat.

 
Baca Juga: Tiga Catatan Penting dari Dokumen Abu Dhabi untuk Toleransi di Nusantara  

Soal Menguasai Lawan Jenis

Ada banyak motif penyebaran video asusila. Salah satunya untuk mengintimidasi lawan jenis. Ini merupakan kekerasan yang lumrah terjadi. Terdapat begitu banyak perempuan yang menjadi korban dari motif jenis ini.

Misalnya si pelaku membuat video bersama korban yang notabene adalah kekasihnya. Ketika dalam perjalanan korban misalnya berusaha menolak pelaku termasuk untuk urusan hubungan intim, maka pelaku akan mengancam menyebarkan video atau fotonya ke publik.

Ancaman ini tentu saja membuat si korban takut dan tunduk melakukan apa saja yang diinginkan pelaku termasuk melayani birahi pelaku. Terdapat banyak kasus seperti ini dan tentu saja sangat sulit untuk terkuak ke publik kecuali si korban membukanya.

Baca Juga: Delapan Film yang Berlatar Belakang Alam NTT yang Booming di Bioskop

Pada dasarnya si korban ketakutan karena apabila video atau foto tentang dirinya disebarkan ke publik menjadi aib bagi dirinya. Ia akan bermasalah dengan keluarga dan sahabat-sahabatnya. Di lingkungan sosial juga ia mendapat tekanan. Sehingga pilihan terakhir adalah tunduk.

Selain itu ada juga upaya untuk melakukan pemerasan terhadap korban. Pelaku akan mengancam korban jika tidak diberikan sesuatu berupa materi entah uang, hp, perhiasan hingga barang mewah seperti mobil.

Ini merupakan sebuah kekerasan dan tentunya telah menelan banyak korban. Kebanyakannya adalah wanita.

Untuk itu, pihak berwajib mesti melakukan studi mendalam yang lebih komprehensif tentang kasus seperti ini. Undang-undang ITE bukan satu-satunya alat untuk menghentikan tindakan asusila ini tetapi motif lain dibalik itu yang membuat korban tidak berdaya. 

Sebaliknya pihak berwajib harus mampu memberikan perlindungan terhadap mereka yang menjadi korban bukan sebaliknya menjebloskan mereka ke penjara.

Artikel Pilihan


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous post Chelsea Ndagung Berduet dengan Lyodra Ginting dan Yambres dalam perayaan Natal Nasional tahun 2020
Next post Dunia Kehilangan 440 Juta Turis Selama Masa Pandemi