Koalisi Selamatkan Laut Indonesia Desak PT Boskalis untuk Hentikan Tambang Pasir Laut di Perairan Makassar
Aksi warga pulau menghadang kapal boskaliss/ Foto oleh JATAM |
Eastjourneymagz.com– Praktik penambangan pasir laut untuk kepentingan proyek reklamasi Makasar New Port (MNP) yang dilakukan oleh kapal Queen of the Netherlands milik PT Royal Boskalis di perairan Sangkarrang, Makassar, Sulawesi Selatan terbukti merusak kawasan perairan Makasar.
Pembangunan MNP yang digawangi oleh Pelindo memiliki luas 1.428 ha yang akan direncanakan selesai pada tahun 2025.
PT Royal Boskalis adalah kontraktor yang memenangkan tender penyediaan pasir untuk kepentingan reklamasi yang menambang di wilayah konsesi sejumlah perusahaan lokal di Sulsel, di antara perusahaan itu adalah PT Benteng Lautan Indonesia.
Berbagai fakta di lapangan menunjukkan, penambangan pasir tersebut telah berdampak buruk dan sudah berkali-kali ditolak oleh 5000 penduduk di Kepulauan Sangkarrang, mewakili 1456 keluarga nelayan tradisional.
Kapal milik PT Boskalis memiliki kapasitas 33.423 Gross Ton (GT) terus menambang pasir laut dalam skala besar, terhitung mulai tanggal 13 Februari 2020 dan terus berlangsung hingga Senin, 21 Juli 2020 saat masyarakat pesisir laut menghentikan sementara aktivitas penambangan.
Penolakan penduduk Kepulauan Sangkarrang hingga Makassar terjadi akibat pengrusakan wilayah tangkap nelayan dan proses konsultasi sepihak. Perempuan dari desa – desa terdampak turun ke jalan, juga ke laut dalam protes meluas menuntut Boskalis mundur.
Sejak PT Royal Boskalis menambang pasir pada kurun Februari – Juli 2020, penurunan hasil tangkapan nelayan terjadi secara drastis. Seringkali nelayan harus pulang dengan tangan kosong.
Situasi ini secara cepat pula menyebabkan peningkatan jumlah utang keluarga nelayan. Pandemi Covid-19 terpaksa dihadapi keluarga pesisis laut dengan beban berlapis, khususnya serangan brutal terhadap ruang hidup dan kemampuan bertahan hidup secara mandiri.
PT Benteng Lautan Indonesia sebagai rekanan dari PT Royal Boskalis telah menggunakan cara-cara kotor agar dapat melanjutkan proyek tambang pasir laut. PT Benteng Lautan Indonesia membayar orang untuk membujuk masyarakat agar menerima uang ganti rugi dan menerima tambang, namun ditolak oleh nelayan.
Selain itu, pihak kepolisian sering mengintimidasi nelayan dan menyatakan yang tidak menerima tambang akan ditangkap dan dipenjara. Kegiatan mereka, termasuk perluasan jangkauan hukum mereka, pemaksaan kolaborasi terhadap orang lain, langsung dan tidak langsung, telah melanggar hukum internasional, sebagamana hukum hak asasi manusia internasional dan hukum lingkungan internasional, dimana kehidupan seseorang secara akut terancam.
Ironisnya, pemeirntah pusat dan pemerintah daerah tidak melakukan upaya apapun untuk melindungi nelayan. Padahal, UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam, memberikan mandat untuk melindungi nelayan, salah satunya menjamin keamanan dan keselamatan sekaligus mendapatkan pendampingan hukum.
Kami mengamati proses pembiaran pelanggaran HAM yang dialami oleh penduduk di Perairan Sangkarrang . Kami menuntut tindakan serius dalam merespon tuntutan warga sebagai pihak yang mengalami kerugian dan kerusakan berdasar ayat 6,.1, 10.1, Konvensi Internasional tentang Hak – Hak Sipil dan Politik (ICCPR), ayat 1.2 Konvensi Internasional tentang Hak – Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR), terutama penggunaan upaya – upaya pertahanan diri dalam hubungan dengan Hak Hidup dan hukum hak asasi manusia dan hukum lingkungan internasional terkait pelanggaran kewajiban ekstra territorial.
Foto JATAM |
Ayat 6.1 dari ICCPR:
“bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk hidup yang melekat. Hak ini harus dilindungi oleh hukum. Tidak ada satupun yang boleh semena-mena mencabut hidupnya.”
Ayat 10.1 dari ICCPR:
“semua manusia yang dirampas kebebasannya harus diperlakukan dengan manusiawi dan dihormati atas martabat yang melekat pada setiap pribadi seseorang.”
ICESCR:
“semua bangsa, untuk tujuan mereka sendiri, dapat mengelola kekayaan dan sumber daya alam mereka tanpa mengurangi kewajiban-kewajiban yang timbul dari kerjasama ekonomi internasional, berdasarkan prinsip saling menguntungkan dan hukum internasional. Tidak boleh ada kasus yang memperbolehkan masyarakat dirampas dari sarana subsistensinya sendiri.”
Menyikapi hal tersebut, Koalisi Selamatkan Laut Indonesia mendesak Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, Kedubes Belanda, PT Royal Boskalis, Pelindo, dan PT Bentang Laut Indonesia serta seluruh pihak yang terlibat untuk segera mengambil langkah guna menghentikan pertambangan pasir di perairan Sangakrang, Makassar, Sulawesi Selatan.
Adapun tuntutan Koalisi Selamatkan Laut Indonesia adalah sebagai berikut:
1]. Kepada Pemerintah Pusat, khususnya Presiden Republik Indonesia dan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia untuk segera meminta PT Royal Boskalis menghentikan penambangan pasir laut. Pemerintah Pusat harus segera turun tangan melindungi nelayan dan perempuan nelayan di Kepulauan Sangkarang, Makasar, Sulawesi Selatan.
2]. Kepada Pemerintah Belanda, untuk segera memerintahkan PT Royal Boskaslis agar secepatnya menghentikan penambangan pasir di Kepulauan Sangkarang, Makasar, Sulawesi Selatan.
3]. Kepada PT Royal Boskalis, segera menghentikan penambangan pasir dan melakukan pemulihan hak asasi manusia nelayan serta perempuan nelayan di Kepulauan Sangkarang.
4]. Kepada Pelindo dan PT Bentang Laut Indonesia agar menghentikan penambangan pasir di Kepulauan Sangkarang, Makasar, Sulawesi Selatan, serta melakukan dialog dengan masyarakat yang terdampak. Tak hanya itu, melakukan pemulihan hak asasi manusia nelayan serta perempuan nelayan di Kepulauan Sangkarang.
5]. Kepada Kapolda Sulawesi Selatan, untuk segera memerintahkan anak buahnya di lapangan agar tidak melakukan penangkapan dan intimidasi terhadap nelayan. Mereka berjuang untuk melindungi laut Indonesia dar kerusakan.