Putra Putri Daerah, Mau Revolusi “Gengsi” atau Mau Bangun Mental Kaum Terjajah (Inlander)?
Eastjourneymagz.com– (Sesi Curhat)- “Sebagai pemuda dan pemudi daerah perlu adanya revolusi “gengsi” bukan untuk gengsi, tapi melawan watak gengsi. Agar tidak lagi bermental inlander yang adalah sisa-sisa kolonialis. Pemuda-pemudi daerah adalah manusia yang merdeka, bukan karena berada di negeri yang merdeka saja, tetapi telah dan seyogianya berhakikat manusia merdeka,” diskusi di tepi kali Pasar Baru.
Begitu heroiknya kata-kata itu, saat kami berdiskusi sampai melupakan amisnya kali pasar baru yang mengalir begitu jauh. Begitulah anak-anak daerah, tidak hanya matanya menyala-nyala tapi juga darah dan dagingnya.
Suasana memang mendukung kami, sepelemparan batu dari tempat kami duduk berdiri kokoh Museum Graha Bhakti Antara. Museum ini sangat bersejarah. Dari tempat inilah pertama kalinya Proklamasi Kemerdekaan RI dikumandangkan ke Penjuru Nusantara bahkan sampai ke Australia dan San Fransisco di Amerika Serikat.
Kembali ke mental inlander atau mental kolonialis yang menjadi inti diskusi kami. Mental inilah yang mewabah hampir seluruh wilayah yang pernah diduduki kolonial. Para cendikiawan pascakolonial telah membahasnya topik ini dan dipengaruhi oleh pemikiran besar Karl Marx, Frantz Fanon dan Antonio Gramci.
Di daerah yang menjadi medan bedah kami mental kolonialis juga begitu akut. Kaum muda di daerah juga terserang oleh mental inlander ini. Kebisingan milineal belum mampu mengusir mental inlander ini jauh-jauh.
“Dasar inlander!” kira-kira begitu celoteh salah satu teman dalam diskusi yang ditemani kopi sore itu.
“Gengsi Gede Gedean” merupakan salah satu pusat diskusi kami dimana kami menyimpulkan sebagai anak kandung dari mental inlander ini. Gengsi dalam KBBI adalah kehormatan, pengaruh, harga diri dan martabat. Gengsi pada dasarnya sangat penting jika ditempatkan dalam porsinya. Akan tetapi gengsi yang gede pada akhirnya merupakan sikap munafik, sikap yang menahan keinginan, penampilan agar tidak diketahui orang lain akibatnya merugikan diri sendiri dan orang lain.
Gensi ini megerogoti banyak kaum muda daerah saat ini yang mengaku milinial. Milinealis itu sendiri seharusnya sangat dekat dengan kata kreatif, inovatif dan produktif. Akan tetapi semuanya itu meleleh dari kehidupan kaum milenial karena gengsi.
Dalam amatan kami, saat ini banyak sekali milinealis daerah yang sudah menempuh pendidikan tinggi seperti sarjana. Namun hingga saat ini angka pengangguran tingkat sarjana juga sangat tinggi. Hal itu dikarenakan jumlah lapangan kerja sangat sedikit dibandingkan dengan tenaga kerja.
Lebih bahayanya lagi, banyak sekali tenaga kerja ditempatkan tidak sesuai dengan bidang atau keahlian. Paling bahaya sekali adalah menempatkan tenaga ahli sesuai dengan kadar keluarganya. Selain itu upah sangat murah bahkan banyak sekali tenaga sukarela.
Mental kolonialis ini tampak saat lebih memilih kerja yang berpakaian neces, bersih, berdasi, berjas dan berkantor. Pokoknya jidatnya akan kelihatan borjuis meski hanya memiliki uang Rp. 2000 di dalam dompet dan yang paling penting adalah masih bisa bernafas.
Seorang pemikir postkolonialis Bhabha menilai bahwa cara kaum mudah di atas merupakan bentuk peniruan terhadap kaum kolonialis. Menurut Bhabha ini menggambarkan realitas relasi kaum terjajah dan yang menjajah.
Rrelasi budaya-budaya, termasuk penjajah dan terjajah berada di dalam interdependensi dan konstruksi subjektifitas yang saling timbal balik. Lebih jauh ia menilai budaya dan sistem budaya terbentuk dalam ruang ketiga. Interdependensi itu mengambil wajah dalam hibriditas atau persilangan antar keduanya.
Hibriditas memunculkan diri dalam budaya, ras, bahasa dan sebagainya dimana menciptakan identitas kultural. Hibridisasi dapat muncul dalam mimikri. Hal ini sangat Nampak bagaimana kaum daerah mengikuti cara berpakaian kaum kolonialis, cara bekerja hingga bertindak.
Mengikuti mental ini tentu saja berbahaya, akibatnya ada pandangan seperti pekerjaan bertani, beternak dan nelayan adalah pekerjaan rendahan. Pekerjaan-pekerjaan ini adalah pekerjaan yang tidak membutuhkan kaum terdidik sehingga dianggap sebelah mata.
Harus diakui banyak sekali putra-putri daerah menganggap pekerjaan petani, peternak dan nelayan adalah pekerjaan kotor karena dianggap black color Job. Pekerjaan itu dianggap menguras tenaga saja, berada di bawa terik, membuat perut mual dan pusing.
Maka pekantoran adalah pekerjaan yang dicari-cari dan disanjung-sanjungkan. Pakaian yang neces adalah hal yang utama dan tentu saja harus di bawa gedung apalagi berada di ruangan AC.
Dalam diskusi itu tidak terlupakan dari ingatan kami soal peminat PNS semakin tinggi. Setiap tahun angkanya begitu banya. Kami bukannya anti dengan PNS akan tetapi kegelisahan kami adalah banyak sekali yang menjadikan PNS sebagai agenda utama.
Sebagian besar sarjana memimpikan PNS dan itu adalah mimpi turun temurun dari nenek moyang, entah sampai kapanpun. Itu adalah keinginan suci para sarjana di daerah saat ini yang juga telah menjadi dosa bersama.
Mental ini seperti virus yang akut dan memiliki pengaruh yang kuat dari generasi ke generasi. Dalam diskusi itu kami mengajak agar kaum muda perlu melakukan revolusi gengsi untuk menyelamatkan daerah. Anak mudah adalah asset daerah yang harus diungsikan dari mental inlander ini.
Bukan hanya kaum penjajah saja yang diusir tapi juga mental penjajah. Bukan tanah air saja yang merdeka tapi juga pikiran. Merdeka!