Rencana Pemerintah untuk Mengembangkan Biodiesel Bahaya Bagi Perekenomian dan Lingkungan


Ilustrasi Biodiesel/ Foto Istimewa

Eastjourneymagz.com–Alih-alih memperbaiki neraca perdagangan, rencana pemerintah untuk mengembangkan produksi biodiesel dari minyak sawit justru akan mendatangkan biaya besar bagi perekonomian dan lingkungan.

Dipercepatnya implementasi biodiesel, seperti B40 yang targetnya dirilis pertengahan 2021, akan semakin mempercepat ekstensifikasi lahan sawit, yang akhirnya berpotensi besar mengurangi luasan hutan tersisa dan meningkatkan kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Laporan LPEM Universitas Indonesia berjudul “Risiko Kebijakan Biodiesel dari Sudut Pandang Indikator Makroekonomi dan Lingkungan” yang dirilis hari ini dalam diskusi bertajuk “Kebijakan Biodiesel Untuk Siapa?” memperlihatkan sejumlah poin penting dari perhitungan dampak kebijakan biodiesel berdasarkan tiga skenario dengan simulasi hingga 2025.

Baca Juga: Diaspora Maggarai Raya Menolak Tegas Hasil Studi AMDAL Rencana Pertambangan Batu Gamping di Matim

Pertama, penghematan neraca berjalan tidak sebesar yang dibayangkan, karena selain menghitung penghematan impor solar, perlu juga melihat potensi hilangnya penerimaan negara dari ekspor CPO akibat direalokasi untuk kebutuhan biodiesel. Hitungan LPEM, untuk B30 hanya menghemat Rp 44 triliun. Jauh lebih kecil dari perhitungan pemerintah yang tahun ini disebutkan bisa mencapai Rp 112,8 triliun.

“Kebijakan biodiesel memberikan dampak yang ambigu terhadap neraca berjalan karena sangat dipengaruhi oleh harga CPO dan solar,” ucap Alin Halimatussadiah, Kepala Kajian Ekonomi Lingkungan LPEM FEB Universitas Indonesia dilansir dari laman Greenpeace Indonesia.

Kedua, kebijakan biodiesel justru memperbesar anggaran subsidi, yakni subsidi untuk biodiesel yang dikelola oleh BPDP-KS dari pungutan ekspor CPO, ditambah dengan subsidi solar yang tentunya masih mengalir seiring dengan implementasi biodiesel secara bertahap. 

Ketiga, semakin besar campuran minyak sawit maka akan berdampak pada volume produksi sawit dan kebutuhan lahan baru. Skenario 1 membutuhkan 338.880 hektar lahan baru, skenario 2 perlu 5.246.341 hektar.

Dan skenario 3 sebagai yang paling agresif membutuhkan penambahan lahan sawit sebanyak 9.291.549 hektar.

“Skenario tiga atau baru pada tahapan B50 saja, memerlukan lahan baru sebanyak 70% (sekitar 9,2 juta hektar) dari luasan lahan menghasilkan pada 2019 (13,35 juta hektar). Dari angka tersebut, kita bisa dengan jelas memperkirakan adanya pembukaan lahan baru secara besar-besaran,” ujar Arkian Suryadarma, Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia.

Terkait kebutuhan besar akan lahan, Ekonom Senior Faisal Basri dalam laporannya bertajuk “Kajian Makroekonomi Biodiesel” melihat kebijakan biodiesel tidak layak dikembangkan sebagai energi alternatif.

Baca Juga: Soal Tambang di Matim, WALHI NTT Menolak Dokumen ANDAL PT. Istindo Mitra Manggarai

“Opportunity cost pengembangan biodiesel sangatlah mahal dalam konteks pemakaian lahan,” kata Faisal.

Mengembangkan biodiesel juga dipandang hanya akan menguntungkan segelintir pengusaha sawit, bukan untuk menyejahterakan petani skala kecil. Faisal juga menyebutkan, biodiesel merusak stabilitas makroekonomi karena, salah satunya, kebijakan hanya berjalan efektif bila ada subsidi.

Menariknya, tren konsumsi biodiesel di banyak negara seperti di Eropa dan Amerika justru menurun. Salah satunya, semakin gencarnya transisi ke energi terbarukan seperti surya dan angin.

“Melihat kajian dari kedua laporan, maka masa depan kebijakan biodiesel jelas suram. Biodiesel bukanlah sebuah solusi yang akan menyehatkan keuangan negara, melainkan akan mendatangkan bencana,” tegas Arkian. 

Sumber: Siaran Pers Greenpeace Indonesia

Artikel Pilihan


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous post Diaspora Manggarai Raya Menolak Tegas Hasil Studi AMDAL Rencana Pertambangan Batu Gamping di Matim
Next post Selain Cagar Budaya, Ini Beberapa Keunikan Gereja Kristus Raja Pagal