Mengenal Kapata dalam Suku Naulu; Upacara Pemburu Kepala yang Bisa Digunakan untuk Mas Kawin
Eastjourneymagz.com–Di tengah keindahan alam Pulau Seram, Maluku, Suku Naulu yang dikenal sebagai suku pemburu kepala dalam upacara Kapata.
Suku Naulu memburu kepala sebagai simbol kekuatan, keperkasaan dan keberanian di kalangan mereka.
Kepala yang diambil merupakan kepala musuh terutama saat perang antara suku terjadi.
Meski saat ini tradisi tersebut sudah tidak lagi dipraktikkan, kenangan tentang kapata tetap hidup dalam cerita-cerita yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Kepala Untuk Mas Kawin
Dalam berbagai sumber mengungkapkan Raja-Raja Naulu biasanya mengadakan upacara ini untuk mencari menantu lelakinya. Hal ini untuk menentukan kejantanan bagi seorang pria yang ingin menikahi puteri raja.
Lelaki yang mampu membawa kepala manusia dianggap lelaki yang kuat dan perkasa yang dapat melindungi puterinya. Karena itu lelaki yang mampu melaksanakan Kapata merupakan bibit unggul.
Para calon menantunya itu akan menyasar kepala-kepala musuh yang biasanya berasal dari suku-suku lain terutama saat perang suku berlangsung. Kepala itu dijadikan mahar atau mas kawin.
Kapata juga dilaksanakan saat pantheri atau upacara tanda dewasa seorang anak peria. Dengan mampu membawa kepala manusia maka seorang baru bisa dikatakan dewasa.
Maka ia akan diberikan kain merah untuk diikatkan ke kepala sebagai tanda seorang Naulu yang telah dewasa.
Sudah Ditinggalkan
Tradisi ini sudah hilang pada tahun 1900-an, beberapa sumber mengungkapkan jika tradisi ini masih berlanjut hingga tahun 1940-an.
Hilangnya tradisi ekstrim ini seiring dengan masuknya pengaruh modernisasi serta agama-agama besar ke wilayah Maluku, tradisi kapata mulai ditinggalkan.
Pengaruh dari ajaran-ajaran baru ini membuat banyak suku di Indonesia, termasuk Suku Naulu, mulai mempertimbangkan ulang praktik-praktik lama yang dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai baru yang mereka pelajari.
Untuk upacara pataheri, mereka menggantinya dengan memburu kepala kus-kus sebagai penggantinya. Dengan demikian anak lelaki yang dianggap dewasa ialah mereka yang mampu memburu kepala kus-kus.
Meskipun tradisi pemotongan kepala sudah tidak lagi dipraktikkan, kenangannya masih terjaga dalam bentuk cerita rakyat dan upacara-upacara adat yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Kisah-kisah ini sering diceritakan pada saat-saat tertentu seperti upacara keagamaan atau saat pengajaran kepada anak-anak muda.