Proyek Reklamasi Pelabuhan Makassar New Port (MNP) Sengsarakan Rakyat dan Rusaki Ekosistem Laut


Proyek reklamasi pelabuhan Makasan New Port (MNP)/Dok.Greenpeace Indonesia

Eastjourneymagz.com–Proyek
reklamasi pelabuhan Makassar New Port (MNP) telah menyengsarakan nelayan
sekaligus merusak ekosistem laut di perairan Makassar khususnya di perairan
Spermonde yang menjadi wilayah tangkap nelayan Pulau Kodingareng.

Sejak kapal PT Royal Boskalis yakni Queen of the
Netherlands beroperasi menambang pasir di kepulauan Spermonde pada
Februari-Agustus 2020, dampaknya perekonomian masyarakat nelayan Kodingareng
saat ini mengalami kelumpuhan.

Berdasarkan penelusuran Koalisi Save Spermonde
mengidentifikasi kerusakan yang ditimbulkan oleh tambang pasir PT Boskalis
berdampak langsung pada hasil tangkapan nelayan Kodingareng yang menurun
drastis.

Hal ini dipengaruhi oleh keruhnya air laut akibat sebaran
sedimen hasil kerukan pasir yang berdampak pada terumbu karang sebagai habitat
berbagai organisme laut, rusaknya terumbu karang dapat melumpuhkan ekosistem
perairan Spermonde.

“Sejak Agustus hingga Desember 2020, kami melakukan
riset di Pulau Kodingareng, dimana hasilnya menunjukan bahwa kegiatan
penambangan pasir laut telah merusak ekosistem laut yang berakibat pada
menurunnya hasil tangkapan nelayan. Bahkan hingga saat ini nelayan dan
keluarganya mengalami krisis keuangan tidak mampu membeli kebutuhan pokok,”
jelas Muhammad Al Amin, Direktur WALHI Sulawesi Selatan.

Tambang pasir laut di perairan Spermonde telah
menyebabkan perubahan yang signifikan di dasar laut sehingga pola arus dan
gelombang menjadi lebih besar. Hal ini mendorong terjadinya abrasi di daerah
pantai nelayan, selain itu peningkatan sedimen tersuspensi telah merusak
ekosistem terumbu karang sehingga menurunkan populasi ikan di sekitar perairan
Spermonde.

“Saat penambangan beroperasi, bahkan hingga saat ini,
populasi ikan di perairan Spermonde terutama di wilayah Copong telah menurun
drastis. Padahal wilayah tersebut merupakan zona tangkap utama bagi ribuan
nelayan, tidak hanya yang di Pulau Kodingareng, tetapi juga nelayan di
pulau-pulau kecil lainnya”, kata Amin.

 

Kini, meski aktivitas penambangan pasir laut telah
berhenti namun nelayan masih kesulitan melaut. Selain itu, hasil tangkapan para
nelayan juga belum kembali normal seperti sebelum adanya penambangan.
Penyebabnya adalah peningkatan gelombang air laut yang semakin tinggi serta
kekeruhan air laut yang masih terjadi dan terus menyebar ke wilayah lain dan
mengendap di karang.

“Sekarang kondisi di Copong itu telah berubah sejak
kapal pengeruk pasir beroperasi di perairan Spermonde. Daerah tangkapan ikan
sekitar Copong selalu keruh seperti air cucian beras. Para nelayan pun sangat
sulit mendapatkan hasil tangkapan seperti dulu” ungkap Aswin, Nelayan Pulau
Kodingareng.

Penurunan pendapatan nelayan akibat turunnya hasil
tangkapan nelayan setiap harinya terutama di masa pandemi Covid-19  telah memukul ekonomi masyarakat di Pulau
Kodingareng, terutama bagi para perempuan. Akibatnya sejumlah anak-anak harus
putus sekolah, utang meningkat 10 kali lipat dan yang paling memprihatinkan
adalah sulitnya keluarga nelayan membeli kebutuhan pokok.

Selama kurang lebih 257 hari sejak Kapal Queen of the
Netherlands milik PT Royal Boskalis beraktivitas di perairan Spermonde dan
melakukan penambangan pasir laut, kami mencatat total kerugian 1043 Nelayan
Kodingareng yang terdiri dari nelayan bagang, pancing, jaring dan panah mencapai
80,4 miliar rupiah.

“Dari diskusi yang kami lakukan bersama dengan para
nelayan di Pulau Kodingareng, kami mencatat bahwa selama penambangan pasir laut
beroperasi di wilayah tangkap nelayan di perairan Spermonde, rata-rata kerugian
nelayan pancing mencapai Rp. 200.000/hari, nelayan panah sebesar Rp.
350.000/hari, nelayan jaring Rp. 1.400.000/hari dan nelayan bagan sebesar Rp.
2.000.000/hari”, jelas Amin.

Koalisi Save Spermonde mendukung sepenuhnya perjuangan
masyarakat nelayan Kodingareng yang mendesak pemerintah untuk menghentikan
aktivitas penambangan pasir secara permanen di wilayah Kepulauan Spermonde.

Pemerintah harus melindungi hak asasi masyarakat
pesisir dan ekosistem laut serta melakukan penegakan hukum terhadap perusak
lingkungan. Pemerintah juga harus bertanggung jawab terhadap segala kerugian
sosial, lingkungan dan ekonomi yang telah dialami oleh masyarakat setempat
akibat kegiatan tambang pasir laut dan reklamasi proyek Makassar New Port.

Sumber: Siaran Pers Greenpeace Indonesia


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous post Prabowo Usulkaan Wisata Berkuda di Lima Destinasi Wisata Prioritas
Next post KLHK Menilai Teknologi Modifikasi Cuaca Atasi Karhutla Riau Dan Kalbar