Kisah Karya Sang Fotografer Kevin Carter yang Berakhir Tragis, Ia Bunuh Diri Setelah Karyanya Diterbitkan Majalah Time


Penderitaan di Afrika/ Foto Mendiang Kevin Carter

Eastjourneymagz.comApa yang terjadi jika sebuah karya yang terseohor justeru membawa malapetaka bagi si penciptanya. Ada banyak kejadian di dunia dimana orang-orang hebat dengan karyanya malah membawanya ke dalam kesengsaraan dan kematian.

Salah satunya dialami oleh Kevin Carter yang tidak asing lagi bagi kita saat ini. Ia adalah seorang fotografer yang paling fenomenal dan menghasilkan sebuah karya yang paling berpengaruh di dunia.

Bagi Carter tidak mudah untuk menjadi orang yang sukses di dalam hidup. Ia sendiri bahkan melalui banyak kesulitan termasuk kehidupan di dalam keluarganya.

Ia memulai mengadu nasib dengan menjadi seorang Apoteker, lalu menjadi tentara dan memutuskan berhenti karena berkelahi dengan temannya gara-gara ia membela seorang pelayan berkulit hitam di Kafe yang dipukuli.

Zamannya memang diwarnai diskriminasi terhadap ras kulit hitam sehingga politik apartheid sangat kental saat itu. Ia kemudian memutuskan untuk bekerja sebagai fotografer di tahun 1983. Setahun kemudian ia pindah ke Johannesburg Star dimana ia banyak mengekspos keberutalan pada masa aphartheid.

Beberapa tahun kemudia ia memutuskan untuk bekerja ke Sudan Selatan tepatnya pada Maret 1993. Di sana ia mendapatkan banyak foto tentang kekerasan dan berbagai kehidupan lainnya di daerah itu.

Ada sebuah karya yang membuatnya membawa pada puncak karir sebagai seorang fotografer setelah ia mengambil sebuah foto ikonik di desa Ayod. Saat itu desa itu dilanda oleh kelaparan dan kekeringan yang hebat.

Ada hal yang menyedihkan saat ia mengabadikan sebuah momen dengan kameranya. Ia mengambil gambar dari dekat dengan seorang balita di Sudan yang bertubuh kurus kering.

Tidak jauh dari anak itu terdapat seekor Burung Bangkai yang dianggap sedang mengincar bayi yang tidak berdosa itu.

Foto itu tiba-tiba menjadi fenomenal saat dijual ke New York Times. Media ini mempublikasikan karya Carter ini pertama kali pada 26 Maret 1993. Dalam sekejab foto itu menyebar ke seluruh dunia.

Dari foto itulah dunia mengetahu betapa kejamnya penderitaan di Afrika. Foto ini menggugah hati siapapun yang sangat peduli dengan kemanusiaan.

Tidak berhenti di situ, hal yang membawa Carter ke sebuah masalah ketika banyak orang yang mengontak New York Times dan menggali nasib bayi yang diabadikan oleh Carter.

Berbagai reaksu berdatangan dalam menganggapi foto itu. Ada yang mengecam bahwa si Carter tidak berprikemanusiaan karena ia hanya mengabdikan foto dan tidak menyelamatkan bayi itu.

Setahun kemudian pada April 1994 foto yang ramai dibiccarakan itu mememenangkan Hadiah Pulitzer untuk kategori Feature Photography. Karya itu dapat menggambarkan situasi kemanusiaan dan penderitaan di Afrika.

Apa yang terjadi setelah kemenangan itu? Carter dinyatakan tewas dalam sebuah kecelakaan. Banyak yang mengira dia bunuh diri karena kontroversi karyanya itu.

Kemungkinan besar pristiwa dalam foto itu membuat ia merasa bersalah. Ia selalu dibayang-bayangi wajah bocah yang ia ambil tersebut dan menjadi karyanya yang tersohor.

Dalam sebuah wawancara ia mengakui bahwa dirinya telah mengusir burung bangkai itu dan menghalaunya agar tidak mendekati bocah itu. Ia kemudian duduk di bawa sebuah pohon untuk beristirahat sejenak menikmati rokok dan meratapi pristiwa itu.

Ia meninggal dengan tragis pada 27 Juli 1994 saat ia mengendarai mengendarai mobilnya ke Braamfontein. Ia diduga kuat bunuh diri di tempat itu dengan mengalirkan pipa knalpot mobilnya ke jendela di sisi pengemudi sehingga keracunan karbon monoksida.

Sebelumnya ia menulis sebuah catatan yang sangat menyedihkan.  “Aku sungguh, sungguh menyesal. Rasa sakit telah menimpaku hingga bahagia itu takkan ada lagi… tertekan … tanpa telepon … uang sewa … uang untuk hutang … uang!!! … Aku dihantui oleh ingatan dari pembunuhan dan mayat dan kemarahan dan kesakitan … kelaparan atau anak kecil yang terluka, dari orang gila bersenjata, bahkan polisi, dari eksekutor hukum mati … Aku pergi untuk bergabung dengan Ken kalau aku seberuntung itu.


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous post Abraham Lincoln, Suara untuk Budak di Gettysburg
Next post Tradisi Impaling, Menusuk dan Melukai Diri dengan Jarum, Paku, Pisau hingga Duri