Saat Semua Mengadu pada Senja, Bukan Emak Lho
Eastjourneymagz.com– Senja menjadi diksi yang usianya berabad-abad lamanya. Kedengarannya begitu menyenangkan dan membangkitkan imajinasi meskipun dibaca pada pagi atau malam. Tidak usah menulis banyak tentang senja tulis saja SENJA, rasanya sudah melayang layang.
Layaknya sebuah novel fenomenal yang tidak nyaris lagi tapi sunguh-sungguh menulis SENJA sebagai judulnya. Siapa yang tidak kenal novel Twlight yang telah diangkat ke dalam film layar lebar. Novel roman karya Stephenie Meyer yang berkisah tentang hubungan asmara antara vampir dan manusia itu menjadi sangat terkenal di seantero dunia.
Novel ini menceritakan tentang Bella Swan seorang gadis asal Arizona yang pindah ke Forks untuk tinggal bersama ayahnya, Charlie Swan. Tokoh Bella dalam film itu mendapat banyak perhatian para pemuda dan teman-temannya karena ia memiliki darah suci yang diperebutkan oleh keluarga Vampir dan Srigala.
Penyair Indonesia juga banyak yang pecandu senja, seperti Chairil Anwar. Ia juga terang-terangan menulis judul puisinya dengan kata senja seperti senja di pelabuhan kecil. Ia membawa pembaca pada imaji soal senja, laut, elang, kapal, deburan ombak dan hingga dermaga. Jauh dari itu ia mengajak pembaca untuk melampaui senja (di Pelabuhan Kecil) itu.
Chairil Anwar yang merupakan sastrawan Indonesia angkatan 45 itu sesuai periode sastra Indonesia menulis pusinya:
Senja Di Pelabuhan Kecil
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap
Chairil Anwar (1946)
Jauh sebelum Chairil Anwar Penyair luar sekelas Kahlil Gibran asal Libanon juga penyuka senja. Penyair yang hidup pada 1883 hingga 1931 juga mengurai senja yang dituliskan di dalam karyanya. Salah satunya di tulis dalam puisinya Gemerai Gerimis Senja.
………………………..
Gerimis turun lagi.
Seringan kapas di telapak tangan sang angin.
Maka begitu pula dengan kerinduan dan cintaku
Ia perlahan-lahan turun memenuhi dada
Ke alam nirwana jiwaku dibawa.
Kekasihku. Marilah di senja nan indah ini kita letakan segala keresahan sepanjang hari. Tubuh ini telah letih merawat sawah dan ladang. Kini telah tiba waktu untuk merawat cinta kita.
Pada dasarnya kata senja telah hadir dalam kesusteraan lama seperti yang tulis di dalam kitab suci di banyak agama. Meski demikian ada juga yang menuliskan senja tapi tidak menguliti romantisme belaka tetapi sangat ekstrim bahkan menggugat iman, harapan dan ideologi.
Seorang filsuf dan filolog yang juga menulis tentang Kematian Tuhan, Frederic Nietzsche melakukan itu. Sang filsuf meramu kata senja ini dalam karyanya dan juga di tulis dalam judulnya Senjakala Berhala dan Anti-Kristus ditulis tahun 1888. Gayanya dalam menulis senja derbeda dari penyair lain. Nietzsche menulis dengan gaya yang sangat menohok dan menimbulkan kontroversi.
Penghakiman Pada Senja
Lalu bagaimana hari-hari kini? Penyair dan pecandu kata tidak pernah membuang kata senja. Mereka menulis dalam puisi, kata-kata bijak, novel, drama, teater, lagu-lagu hingga film bahkan mungkin juga dalam sebuah sandi operasi rahasia inteligen sekalipun.
Begitulah senja, selalu ditulis meski tidak dirasakan. Tetapi begitu pulalah penyair, melampau kemampuan orang-orang biasa. Penyair memang makhluk yang paling GR di dunia, karena lebih suka melibatkan imajinya daripada yang sesungguhnya. Tetapi penyair seperti orang-orang yang terlibat sungguh-sungguh di sana, ada di sana dan bersama di sana.
Dan saat ini, senja telah tulis dimana-mana bahkan dalam makna yang berbeda. Ada yang menulis senja untuk tertawa atau sebaliknya menangis. Ada yang menulis senja untuk bersedih tetapi ada pula untuk bergembira. Yang paling menyedihkan adalah yang tidak tahu sama sekali.
Tapi mungkin yang lebih baik adalah pilihan terakhir, sebuah sikap apatis pada senja (Mungkin bisa di tulis di lain hari). Daripada menghakimi senja bahwa aliran siapa yang paling benar? Harapan siapa yang paling benar tentang senja? Lalu siapa yang harus diberi hukuman dan dinyatakan bersalah? Senja bukanlah tempat pengadilan.
Namun fakta kekinian menunjukan pecandu senja semakin terus bertambah meski Iman Lukmansyah menulis sebuah Lagu Senja Tai Anjing. Sebuah cara terbalik dalam mencintai senja. Mungkin juga karena ia menyaksikan mereka yang bangkit dan jatuh dalam senja itu.
Dalam senja ada yang berlari mengambil kamera, menyeruput Kopi, maka jadilah kopi senja. Atau mereka yang rebahan menulis puisi dan menangis. Mereka yang melukis harapan-harapannya bahkan keputusasanya. Melampiaskan kesepian bahkan kejombloannya. Menjadikan senja sebagai teman dan pelampiasan nafsu kesendirian.
Stop mengeksploitasi senja! Mengadu pada senja! Senja bukan emak lho. Biarkan senja menjadi senja dan dirimu menjadi dirimu!