Dari Enaknya Seafood sampai Debu di Labuan Bajo

Eastjourneymagz.comBukan main girangnya hati ketika menikmati ikan bakar di Kampung Ujung Labuan Bajo. Ikannya segar-segar lebih segar lagi karena gadis-gadis cantik dari berbagai belahan dunia berselancar bebas di depan mata. Rupanya di spot ini adalah tempat yang tepat untuk cuci mata.
Di sisi kiri dan kanan sepanjang jalan dari kampung ujung hingga pantai Pede berdiri berbagai macam bangunan mulai dari hotel, agen tour atau travel, restoran, kafe hingga salon. Beberapa bangunan tampak seperti tertempel begitu saja di tebing-tebing sepanjang jalan. Tangga-tangga kecil berjejer untuk menghubungi jalan besar. Saat malam tiba, cahaya lampu memperindah keadaan sekitar. 

Soal kuliner, dari Kampung Ujung hingga ke arah Pantai Pede berjejer berbagai restoran yang menyajikan kuliner mulai dari Seafood, makanan ala Italia, Jepang hingga bakso dan nasi Padang.

Sebut saja Seafood Wisata Kuliner Kampung Ujung, Ikan Kuah Asam Philemon, Cafe in Hit dan Artomoro Sop Buntut Blue Corner, Makanan Italia Mediteraneo, Seafood TreeTop, Sunset & Live Music Paradise Bar hingga Gorengan Simpang Pede.

Sebagaimana laporan dari Travel.detik.com, yang menghimpun informasi dari warga sekitar pada tahun 2016 bahwa soal kuliner makanan laut alias seafood Labuan Bajo adalah juranya.

“Di sini, ikan baru mati sekali, tidak seperti di Jakarta mati berkali-kali,” kata warga tersebut untuk mengungkapkan Labuan Bajo kelimpahan ikan segar.

Mentri Pariwisata Arief Yahya angkat bicara soal ikan segar yang luar biasa di Labuan Bajo. Ia bahkan membandingkannya dengan kondisi ikan di Jakarta.  Menurutnya ikan-ikan di Labuan Bajo seperti ikan kakap merah, kerapu macan, gorapa merah, dan lainnya masih segar dibandingkan dengan di Jakarta yang sudah beberapa hari ditangkap nelayan, lalu diawetkan, dibekukan, dan ditampilkan di display.

“Kalau di Labuan Bajo, langsung disupplai dari nelayan yang baru saja menangkap ikan dari laut. Insangnya masih segar, warna dan bentuknya masih fresh. Baru sekali mati, belum disimpan lama-lama di freesher atau cold storage,” kata dia pada pertengahan July 2016.

Tempat-tempat yang menyajikan kuliner di kota ini memang menggoda lida. Berbagaimacam tangkapan laut yang bisa langsung dinikmati bisa ditemukan di restoran-restoran tersebut.

Soal Debu

Kota Labuan Bajo merupakan tempat berlabuhnya orang-orang dari berbagai bangsa. Para pelancong pasti menikmati jalan kaki di Kota yang bersuhu panas itu.  Di sepanjang jalan dari kampung ujung hingga simpang Pede pejalan kaki akan terganggu dengan debu yang bertebaran kemana-mana.
Tidak ada bunga atau sekadar percikan air untuk menghalau debu-debu itu. Sementara itu irigsi dan trotoar-trotoar tidak terurus. Akan tetapi para pelancong melintas begitu saja. Orang-orang tertawa bebas sembari menikmati debu-debu itu.

Pada saat musim kemerau tiba, debu akan bertebaran kemana-mana karena diterpa angin. Debu di sepanjang jalan tentu saja akan mengganggu pejalan kaki yang melintas. Di sana juga kendaraan lalu lalang yang seringkali menyibak debu.

Soal debu, mungkin hal yang sepeleh akan tetapi perlu sepenuhnya diperhatikan. Tidak perlu sekolah khusus untuk mengendalikan debu tersebut. Tidak juga membutuhkan illusionis yang mampu mengubahnya dalam sekedip atau butuh Jin dari lampu Aladdin yang tinggal menyebut tiga permintaan saja seperti di film musikal Amerika yang disutradarai Guy Ritchie dan diperankan oleh aktor terkenal Will Smith.

Labuan Bajo butuh satu saja yakni komitmen dari tuan penguasa. Dengan melihat persoalan Debu ini diharapkan mata penguasa tidak dicelikan melainkan makin terbuka lebar untuk melihat persoalan yang mendalam dan substantif.

Pengampuh kepentingan bahkan harus lebih jauh lagi, tidak hanya sebatas debu tapi terutama soal tata kota yang perlu perhatian khusus karena menyangkut masa depan Labuan Bajo. Harus diperhatikan lagi soal Tata Ruang, Tata Kota, hingga Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang membawa kota ini menjadi kota yang luar biasa.

Kalau mau dibanding-bandingkan soal tata kota di tanah air memang belum ada yang luar biasa. Jakarta sebagai barometer saja tampak tidak beraturan.

Dilansir dari Tirto.id, pengamat Perkotaan dari Universitas Trisaki, Nirwono Joga mrngatakan lebih dari 80 persen tata ruang di Jakarta menyalahi peruntukan. Maka tak kagetkan jika Kemang, kemudian Kelapa Gading dan Kapuk Angke kerap dilanda banjir.

Menurutnya mayoritas tata ruang jakarta hancur karena lahan yang seharusnya diperuntukkan bagi Ruang Terbuka Hijau (RTH) kemudian menjadi kawasan perumahan dan kawasan komersial. Kondisi inilah yang membuat Jakarta sering banjir, padat dan penuh dengan polutan.

Labuan Bajo harus belajar dari kegagalan Jakarta. Labuan Bajo adalah kota yang masi belia dan sedang bertumbuh. Bila dibandingkan dengan kota yang lain di NTT, Labuan Bajo memiliki daya percepatan pembangunan. Hal ini didukung oleh meningkatnya sektor pariwisata di daerah ini.

Pengampuh kepentingan harus berpikir keras terutama dalam menyusun rencana pembangunan di wilayah ini ke arah yang tepat. Jika tidak, hanya debu-debu di jalanan yang menjadi polusi tapi juga di pikiran nahkoda dan jajaran pengampuh kepentingan di kota ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous post Seekor Paus Kembali Terdampar di Lumajang
Next post Jungle: Pertualangan di Amazon yang Mematikan