WALHI Khawatir Rencana Eksplorasi Geotermal di Gunung Ciremai akan Mengancam Kawasan Konservasi
Potret Gungun Ciremai/Foto Istimewa |
Eastjourneymagz.com—Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) khawatir rencana pemerintah mengeksplorasi panas bumi atau geothermal di Gunung Ciremai, Jawa Barat akan mengancam kawasan konservasi tersebut.
Dilansir dari Ayocirebon.com, Direktur WALHI Jawa Barat Meiki W Paendong menjelaskan eksplorasi geotermal ini memberi peluang untuk mengeksploitasi sumber daya alam (SDA) di kawasan konservasi Gunung Ciremai.
Menurutnya kehadiran proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) di kawasan ini membutuhkan lahan baru. Karena itu akan mengubah status hutan konservasi sehingga izin eksplorasi keluar.
Hal itu kata dia sering dimanfaatkan oleh oknum warga untuk merambah hutan hingga pembukaan lahan baru.
“Ini kan sudah terjadi digunakan oleh oknum-oknum warga, misalnya, untuk merambah hutan, menebang pohon, melakukan perburuan liar bahkan sampai membuka lahan. Jadi semakin mudah aksesnya karena ada jalan menuju ke kawasan hutan itu,” dikutib dari Ayocirebon.com.
Ia menambahkan geotermal Gunung Ciremai berada di kawasan konservasi.
Berkaca pada proyek geothermal di seluruh Pulau Jawa dan di luar, ternyata banyak geothermal berada di kawasan konservasi.
“Akhirnya akan membuka peluang kerusakan hutan konservasi ini semakin besar,” kata dia.
Sebelumnya, terkait rencana eksplorasi panas bumi Gunung Ciremai, pihak ESDM sudah lakukan pertemuan dengan Pemerintah Kabupaten
Kuningan pada Kamis, 10 Juni 2021.
Dalam pertemuan tersebut, Koordinator Pelayanan dan Bimbingan Usaha Panas Bumi Kementerian ESDM Edi Indiarto saat itu menjelaskan untuk
WKP (Wilayah Kerja Panas Bumi) di kawasan gunung ciremai akan dimanfaatkan sebagai sumber energi listrik.
Selain itu kawasan seluas 38.560 Ha dipergunakan untuk pemanfaatan langsung (non listrik) berupa wisata, agrobisnis, dan peternakan.
Menurutnya energi geotermal memiliki karakter sumber energi bersih, ramah lingkungan terbarukan, bebas risiko kenaikan harga bahan bakar fosil, tidak dapat diekspor, tidak memerlukan lahan yang luas, dan tidak tergantung cuaca.
“Pada dasarnya, energi geothermal adalah energi yang sangat ramah lingkungan dan dapat berdampingan dengan aktivitas masyarakat sekitar, disamping memberikan manfaat yang cukup besar bagi masyarakat,” jelasnya.
Soal pembangunan proyek geotermal di kawasan hutan konservasi bertentangan dengan pandangan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLKH).
Dikutib dari Mongabay, misalnya dari Is Mugiono yang menjabat Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hutan Konservasi Dirjen Konservasi dan Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) KLHK mengatakan agar tidak boleh terburu-buru ke kawasan konservasi.
Ia menjelaskan pembangunan geotermal sangat didorong untuk kawasan alokasi penggunaan lain (APL).
Sebaliknya bukan di kawasan hutan produksi, lindung, apalagi kawasan konservasi.
“Kita maunya kalau yang di APL ada, jangan buru-buru masuk ke area konservasilah. Itu poinnya. APL itu kan sangat luas. Mengapa buru-buru masuk ke kawasan konservasi? Tapi kalau itu sudah maunya paling tinggi di situ ya monggo. Tapi di APL sangat banyak,” kata dia.
Ia membeberkan potensi panas bumi di kawasan konservasi memiliki potensi yang kecil dibandingkan hutan lindung dan APL.
Berdasrkan data Kementerian ESDM total potensi distribusi panas bumi di konservasi ada 46 titik (6.157 MW), hutan lindung 56 titik (6.391 MW), hutan produksi 50 titik (3.893 MW) dan APL 145 titik (12.176 MW).
Berdasarkan data tersebut, ia kemudian mempertanyakan upaya pembangunan geotermal di kawasan konservasi bahkan sampai merubah aturan.
“Sebenarnya yang banyak panas bumi ini dimana sih? Kok konservasi ini dikejar sampai aturan diubah?” kata dia.
Ia menambahkan potensi panas bumi di kawasan konservasi berada di delapan taman nasional yakni, Taman Nasional Gunung Leuser, Batang Gadis, Kerinci Seblat, Bukit Barisan Selatan, Halimun Salak, Ciremai, Rinjani dan Bogani Nani Wartabone. Juga ada di tiga taman wisata alam, yakni, Dieng, Danau Buyan/Tamblingan dan Ruteng.