Peluang Jakarta Kembangkan Energi Surya atau Solar City
EEastjourneymagz.com–Laporan terbaru Greenpeace Indonesia bekerjasama dengan Tropical Renewable Energy Center (TREC) Universitas Indonesia mengenai Jakarta Solar City memperlihatkan kemungkinan-kemungkinan bagi Jakarta sebagai ibukota untuk menjadi sebuah kota yang maju dan berkelanjutan dengan mengedepankan pengembangan energi terbarukan khususnya energi surya.
Dilansir dari laman Green Peace Indonesia greenpeace.org laporan ini mengkaji potensi pengembangan energi surya melalui sistem PLTS atap dengan menganalisa potensi pasar dari rumah tangga, bisnis, dan industri di Jakarta.
Pengembangan energi surya di Jakarta tidak semata-mata hanya untuk pemenuhan kebutuhan energi namun juga sebagai upaya penurunan emisi serta polusi dari gas buang PLTU batu bara yang menjadi sumber utama pasokan listrik di Jakarta.
Selain itu, aspek yang tidak kalah penting adalah penyerapan tenaga kerja, terutama di tengah kondisi pandemi yang menyebabkan banyak orang kehilangan mata pencaharian.
Eko Adhi Setiawan, Direktur TREC UI mengungkapkan Jakarta yang saat ini sedang berusaha memperbaiki kualitas udaranya, memiliki banyak potensi untuk merealisasikannya dari sektor energi. Selain potensi teknis, potensi pasarnya juga ada.
“Dari hasil survey yang dilakukan dalam riset ini, keinginan masyarakat Jakarta untuk memasang surya atap cukup tinggi.” kata dia.
“Diproyeksikan dengan skema “pesimis” saja jumlah pelanggan yang ingin memasang mencapai 1,15 juta pelanggan rumah tangga. Dengan skema “optimis”, angka tersebut mencapai 2,4 juta,” ujarnya .
Potensi pasar menjadi fokus dalam riset yang dilakukan oleh Tropical Renewable Energy Center (TREC) Universitas Indonesia dan Greenpeace Indonesia. Proyeksi pasar, penurunan emisi serta penyerapan tenaga kerja dibuat dalam tiga skenario utama, yaitu “pesimis”, “realistis” dan “optimis”.
Sektor rumah tangga, bisnis dan industri menjadi sektor yang disasar karena besarnya demand listrik dari ketiga sektor tersebut.
“Berdasarkan proyeksi, potensi kapasitas terpasang dari ketiga sektor mencapai 3,65GW, 4,8GW dan 8,4GW untuk ketiga skenario secara berurutan. Angka yang tinggi, mengingat potensi ini baru diambil dari satu provinsi saja. Beranjak dari kapasitas terpasang, kita dapat menghitung pula potensi pengurangan emisi gas rumah kaca yang mencapai 4,7 juta, 6,25 juta dan 11 juta Ton CO2eq dalam setahun. Hal ini akan membantu Jakarta dalam mewujudkan target pengurangan emisi sebesar 30% hingga 2030. Bahkan dengan skenario “optimis”, pengurangan emisinya mencapai 31,1%, sedikit di atas target Pemerintah Daerah,” lanjut Eko.
Dalam laporan tersebut juga diproyeksikan peluang penyerapan tenaga kerja dari produksi PLTS atap. Dengan skenario realistis, jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan mencapai 52.723 orang. Berdasarkan data dari PT. Quint Solar Indonesia, jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan untuk EPC (Engineering- Procurement- Construction) pada pemasangan Panel Surya 10 MW sebanyak 98 orang selama 1 tahun.
Pekerja dengan keahlian mekanikal mendapatkan porsi terbesar yaitu 40 orang, disusul keahlian electrical 20 orang, bidang sipil 15 orang. Dari data ini dapat diasumsikan bahwa 1 MW per tahun dibutuhkan 9,8 orang (10 orang) tenaga kerja.
Pandemi COVID- 19 memberi kita banyak sekali pelajaran. Salah satunya adalah tentang kemandirian masyarakat dalam memperoleh kebutuhan mendasar seperti pangan dan energi. “Dengan kemampuan masyarakat untuk memproduksi listrik sendiri, baik secara komunal maupun individual melalui PLTS atap, akan membantu terciptanya ketahanan energi yang berkelanjutan, serta minim emisi dan bebas polusi,” tutup Satrio S. Prilianto, Jurukampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.