Laut Indonesia Kedua Terkotor Dunia, Sampah Harus Mengalami Penurunan yang Progresif
Nelayang di tengah tumpukan sampah/Foto Spesial |
“….negara kita yang telah menyabet (bukan) prestasi sebagai penyumbang sampah plastik ke laut terbanyak kedua di dunia (Jambeck et al, 2015)”
Eastjourneymagz.com–Lima belas tahun lalu, tepatnya 21 Februari 2005, Indonesia berduka atas kematian 157 jiwa disebabkan longsor sampah di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat.
Gunungan sampah dengan panjang 200 meter dan tinggi 60 meter hancur menenggelamkan dua pemukiman, yakni Kampung Cilimus dan Kampung Pojok akibat guyuran hujan deras semalam suntuk dan picuan konsentrasi gas metan dari dalam tumpukan sampah.
Semua kehidupan di kedua pemukiman tersebut hilang seketika oleh genangan sampah meskipun berjarak satu kilometer dari gunung timbunan sampah. Hari itu kemudian dikenang sebagai tragedi terpahit sepanjang sejarah Indonesia atas permasalahan sampah yang menelan nyawa, harta, dan keluarga.
Hari ini, tepat di tanggal yang sama, setelah lima belas tahun berlalu Indonesia mengaku sedang berbenah dengan berbagai regulasi agar tragedi Leuwigajah tidak terulang, diantaranya:
Menjadikan tanggal 21 Februari sebagai Hari Peduli Sampah Nasional untuk mengenang dan mengingatkan masyarakat indonesia akan tragedi di atas.
Salah satu plastik yang mengambang di laut/Foto spesial |
Menerbitkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengolahan Sampah yang merupakan bentuk komitmen secara nasional dalam pengolahan sampah berwawasan Lingkungan.
Peraturan Presiden RI No 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Peraturan Menteri LHK tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen yang terbit pada tahun 2019.
Penumpukan sampah yang melebihi kapasitas tampung di berbagai TPA tidak terbendung terjadi karena paradigma lama pemerintah yang menggunakan sistem kumpul-angkut-buang dalam pengelolaan sampah.
Oleh karena itu, untuk menghindari kelebihan kapasitas TPA, perlu ada pendekatan baru yang menekankan pada paradigma ‘pengurangan’ produksi sampah sebagai dasar sistem aturan pengelolaan sampah (sekarang tersusun dalam UU No.18 tahun 2008).
Sejalan dengan itu, KLHK dalam peraturan mengenai peta jalan pengurangan produksi kemasan oleh industri, mewajibkan produsen penghasil kemasan mengurangi timbulan sampah yang dihasilkan sebesar 30% pada tahun 2030.
Mengingat negara kita yang telah menyabet (bukan) prestasi sebagai penyumbang sampah plastik ke laut terbanyak kedua di dunia (Jambeck et al, 2015), waktu dan besaran pengurangan yang telah ditetapkan tersebut merupakan target yang tidak ambisius.
Masih mengacu pada peraturan yang sama, disebutkan bahwa salah satu jenis plastik yang akan dibatasi dengan pemberlakuan pelarangan adalah kantong plastik sekali pakai pada tahun 2030.
Namun mengapa pemerintah pusat tidak melarang kantong plastik lebih cepat daripada harus menunggu 10 tahun dalam tahap-tahap yang bahkan hingga hari ini masih belum ada pengurangan secara signifikan sejak diterbitkannya PP no. 81 Tahun 2012? Padahal kita sudah melihat berbagai inisiatif yang jauh lebih progresif dari pemerintah-pemerintah daerah dalam melarang kantong plastik di wilayahnya, seperti di Banjarmasin, Balikpapan, Bogor, ataupun Bali.
Hal ini tentu saja tidak sejalan dengan paradigma awal ‘pengurangan’ yang digunakan dalam perumusan Undang-Undang Pengelolaan Sampah tahun 2008. Jika lambatnya tingkat pengurangan sampah ini tidak bergerak secara progresif, bukan mustahil kita mengalami terulangnya tragedi Leuwigajah di TPA-TPA lain.