Dear Milenials, Ada Jutaan Petani yang Hilang Setiap tahunnya
Ilustrasi Petani di Tengah Sawah/Foto Theconversation.com |
Aku lebih memilih isolasi diri di Kebun saja, karena Corona ini. Aku sekarang duduk begitu tenang di bawa pohon bringin ini, entah siapa yang menanamnya. Dulu aku pernah belajar Biologi. Guruku bilang, binatang, baik itu jenis burung, musang atau luwak sering membantu menyebarkan benih di hutan. Jadi aku menjadi kagum dengan kerjasama para binatang itu, meski manusia sering merusaknya.
Oh, Aku sudah menamai pohon beringin ini. Yang jelas bukan nama ilmiah Ficus benjamina. Nama ilmiah ini yang membuat aku teringat akan nama sepupuku Mina dan Fikus. Jadi nama itu udah kuingat.
Aku menamai pohon ini Dewi Gewang. Dewi yang lahir dari imajinasiku ini. Aku melihatnya seperti seorang Dewi yang gagah perkasa. Ia adalah pelindung dan sumber kehidupan di sekitarnya. Lihatlah burung-burung itu bernyanyi ria di sini, kumban-kumbang yang terbang dan lebah yang sibuk mengurusi bunga.
Dewi Gewang memberiku ketenangan bahkan untuk memulai menuliskan surat ini kepadamu. Menuliskan kepada generasi digital, 4.0 yang telah berlomba-lomba di tengah dunia yang semakin menawarkan kemudahan sekaligus kesulitan saat ini.
Gawai di tanganmu, dan jemari yang kau mainkan setiap detik menjadi sumber kehidupan dan kematian. Di sana kamu bisa mengakses segala yang baik dan jahat sekaligus. Menemukan Lucifer atau Djalal dan Malaikat yang bak sekaligus.
Aku tidak melarangmu, itu duniamu, teruslah berkembang.
Dalam surat pertama dari petani yang hina ini ingin menjadi sahabatmu untuk menceritakan kekhwatiranku saat ini apalagi di tengah pandemi Global karena virus corona ini.
Milenials yang aku cintai, begini, saat ini banyak sekali yang mengeluh karena kekurangan pangan. Pemerintah juga kewalahan karena pangan kita banyak yang diimpor dan menguntungkan negara lain. Pangan di dalam negeri kita dinilai belum mampu mengisi kebutuhan warga Indonesia.
Aku bingung, karena kita memiliki lahan yang luas bila dibandingkan dengan negara lain meski setiap tahunnya semakin berkurang bahkan banyak yang tidak terpakai. Seharusnya dari lahan-lahan seperti itu kita bisa mendapatkan makanan yang berlimpah bahkan untuk beberapa tahun ke depan. Dari lahan seperti itu, seharusnya kita punya lumbung untuk bertahan di saat-saat krisis.
Kami menyadari, Kaum kami lebih dari 30 juta Jiwa saat ini di Indonesia dan terus menurun setiap tahunnya. Lahan-lahan kami juga terus berkurang karena pembangunan dan perindustrian. Kami sadar tingkat pengangguran para petani terus bertambah setiap tahunnya.
Tahun 2017 saja jumlah kami ada 39,7 juta dan menurun hampir kurang lebih 5 Juta tahun 2018 berdasarkan data BPS. Di tahun 2018 hampir11 juta ha lahan sawah menurun dai 14 juta ha tahun 2015.
Marjinal
Mils, kalau ada waktu sering-seringlah menjumpai kaumku. Duduklah bersama kami di sawah atau di tengah ladang. Kita bersama-sama merasakan teriknya matahari, dimana bukan hanya punggung yang dibakar tapi seluruh diri kita.
Kalau engkau tak merasa jijik dengan bauh badan kami juga amis peluh yang terus menguncur saat energi kami dikuras.
Mampirlah kalau ada yang sedang berjuang membajak sawah, mengalirkan air ke setiap bedeng dan menyediakan benih padi untuk di tanam. Mampirlah kalau ada waktu saat kami sedang menggembur tanah, membuat terasering menyiapkan benih sayur mayur.
Tapi kita juga dihadiahi udara yang segar dan bersih. Sayur mayur dan buah-buahan yang sehat. Sesekali jika engkau mampir ke tempatku, akan kumainkan gambus untukmu sembari menyanyikan lagu derita para petani yang aku karang sendiri.
Marilah, di sini kita akan saling mengenal, untuk bertukar pikiran dan saling merasakan denyut nadi kita. Pun, aku ingin memberitahukan perasaanku ini kepadamu.
Saat ini petani-petani semakin berkurang. Mereka meninggalkan ladang dan sawahnya. Ada banyak dari mereka memutuskan ke kota-kota besar dan mengadu nasib di tempat itu. Di sana mereka jadi buruh pabrik, buruh bangunan, bekerja kantoran hingga berdagang. Ada yang sukses tapi ada juga yang sama sekali tidak.
Saat ini menjadi petani bukanlah profesi yang diminati. Kaum muda sekampungku lebih memilih menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), pegawai bank dan pegawai koperasi. Banyak pula yang meninggalkan kebun dan memilih bergabung untuk mengerjakan proyek jembatan, jalan raya hingga gedung-gedung. Di sana mereka jadi buruh harian juga.
Soal meninggalkan ladang ini adalah ritual untuk menunggu panen tiba. Biasanya kami mengisi waktu data menunggu saat panen dengan menjadi buru di beberapa proyek. Kalau harus menunggu musim panen tiba, anak istri kami makan apa?. Kebutuhan sehari-hari semakin meningkat, anak-anak kami bersekolah dan mereka harus memberi sepatu dan seragam.
Soal Pangan
Milenials, Di saat krisis seperti yang disebabkan Covid 19 ini saya merasakan betul betapa negara ini membutuhkan kami, meski tidak diperhatikan sungguh-sungguh. Kami mau menjadi pahlawan pangan untuk tanah air.
Tetapi apalah daya, ada banyak lahan kami dirusaki, ada pulah lahan yang nganggur. Harusnya kami perlu dilibatkan jauh untuk menjadi membangun Bank Pangan. Mengumpulkan berbagai hasil pertanian setiap waktu untuk menghidupi 238 juta jiwa di tanah air.
Hari ini, bila ada yang mengeluh soal pangan, pikirkan kembali hari-hari kemarin. Adakah nasib para petani seperti kami sungguh-sungguh diperhatikan? Adakah kami ini diperhitungkan oleh pengambil kebijakan.
Hari ini, di tengah pandemi ini harusnya kami yang menjadi salah satu yang berdiri paling depan. Ada banyak yang lapar dan kekurangan makanan dan seharusnya itu adalah tanggungjawab kami.
Memberi asupan makanan yang bergisi kepada penderita corona di Indonesia yang sudah lebih dari 10.000 jiwa dari kebun-kebun kami.
Memberi makanan bagi dokter dan perawat yang saat ini berjuang mati-matian dan semuanya seharusnya dari kebun-kebun kami. Karena kami mencintai mereka sebagaimana anak negeri yang lahir di Rahim yang sama.
Akan tetapi kami sungguh-sungguh bersedih, seharusnya pandemi ini bukanlah ketakutan bagi kita semua. Jika kita telah jauh-jauh hari saling bergandengan tangan, untuk saling memperhatikan nasib kita.
Dear Mils, jika Pandemi ini berlalu, ingatlah kami para petani!
Yang Mengasihimu
Petani