Spirit Kearifan Lokal dan Soal Mental Lupa Pada Negeri
Ilustrasi Kearifan Lokal/Foto Spesial |
Eastjourneymagz.com–Kearifan lokal tentu saja bukanlah topik yang tranding dalam pembicaraan di internet. Lebih tranding “Bahtera Rumah Tangga” para artis. Kalau pembicaraan para artis pasti berada di daftar paling atas, masuk kolom populer pula.
Beda halnya dengan kearifan lokal yang sudah mulai ditinggalkan anak bangsa ini. Di papan gawai yang muncul setiap saat adalah soal hiruk pikuk dunia persilatan yang tiada pernah berakhir ini. Alhasil, anak bangsa kehilangan jati dirinya.
Kalau mau dibilang sebagian besar generasi Indonesia adalah kacang lupa kulit. Apa benar? ya jawabannya iya dan mau marah silahkan. Karena anak bangsa ini lebih suka kebarat-baratan dan juga kearab-araban. Dua ideologi ini bertarung keras di bawah alam sadar yang katanya manusia Indonesia ini. Spirit kearifan lokal seakan-akan yang asing dan tersingkirkan.
Apa mau dikata, fakta juga menunjukkan sebagian besar produk-produk di negeri ini berasal dari dua kutub itu. Lalu apakah manusia Indonesia followers? ya, iya manusia Indonesia memang followers termasuk pandai meniru dan membajak karya orang lain.
Saya seringkali berpikir, apakah ini masih merupakan sisa-sisa mental inlander bangsa ini. Artinya meski sudah 70-an tahun meredeka namun mental terjajahnya masih melekat begitu kuat. Mental kaum terjajah ini ya followers tadi.
Istilah inlander ini menggambarkan inferiornya suatu kelompok masyarakat karena pernah merasakan masa-masa penjajahan. Para ahli pascakolonial sangat fokus untuk mengupas pembahasan ini. Mereka mengurai dampak-dampak secara kompleks transgenerasional setelah dekolonialisasi.
Frantz Fanon dalam karyanya dominasi budaya Barat menggambarkan betapa peliknya masyarakat di Asia, Afrika dan Amerika yang menjadi medan kolonial Barat. Selama masa penjajahan yang digambarkan begitu keras dimana kekejaman penjajahan itu yang menimbulkan kematian, trauma dan kondisi kejiwaan yang buruk.
Lahir Martinique, Frantz Fanon (1925—61) mengenyam pendidikan sebagai psikiater di Lyon sebelum kemudian menjadi revolusioner di Aljazair melawan penjajahan Perancis. kedua orang tua Frantz Fanon berstatus budak Afrika berdarah Perancis.
Sebuah pemikiran Fanon, Black Skin, White Mask membuka mata kita mengenai dampak paling buruk, dan yang paling tersembunyi dari kolonialisme, self-colonialism. Pemikirannya tidak hanya menyingkap soal kolonialisme Prancis melainkan justru membuka topeng bangsanya sendiri yang nosebag besar berkulit hitam.
Ia melihat bahwa bangsanya sendiri secara tak-sadar mengidolakan kekuasaan yang justru merepresi dan menindas bangsa mereka sendiri. Apa yang dibuat oleh penjajah dipraktikan oleh masyarakat di negara itu sehingga ia mengkritiknya habis-habisan.
Indonesia yang telah dijajah oleh Barat begitu lama sebagaimana gambaran Fanon sungguh-sungguh nyata membentuk watak manusia Indonesia saat ini. Fanon menyoroti habis-habisan soal kekuasaan yang kemdian diam-diam dipraktikan di negara terjajah sehingga menimbulkan penyimpangan. Hal yang terjadi adalah menjajah bangsanya sendiri. Watak kekuasaan penjajah kemudian ditiru menjadi watak kekuasaan pribumi.
Bagi saya tidak sedikit masyarakat terjebak dalam watak ini akibatnya adalah manusia Indonesia tidak mencintai diri sendiri karena lebih menyukai yang di luar dirinya (Karena dianggap lebih berkuasa dan lebih luar biasa). Munculnya mental inferior dan menggap bangsa sendiri rendah dibandingkan dengan bangsa yang lain.
Akibat lupa diri ini, maka kearifan lokal, budaya lokal yang mengusung banyak hal kearifan dalam hidup ditinggal jauh-jauh. Semuanya dianggap kuno dan tidak up to date. Akibatnya adalah semua sistem di negeri ini kropos karena tidak memiliki fondasi dari bangsanya sendiri.
Spirit kearifan lokal harus diusung di tengah bencana dan degradasi moral bangsa ini. Agar anak negeri lebih mencintai karya bangsa ini, mencintai karya budayanya dan mencintai dirinya sebagai manusia Indonesia.
Bukan saja mencintai caffe-kafee, Mall-mall dan baju-baju ngetrend saat ini tapi juga musik-musik daerah, tari-tarian daerah, cerita-cerita rakyat dan pakaian-pakaian adat. Dan yang lebih utama adalah menjaga keragaman bangsa ini.
Bahwa pada dasarnya di Bumi Indonesia tertanam benih-benih kebaikan yang lebih unggul daripada yang ada di belahan bumi yang lain. Bagaimana caranya? Pergilah ke masyarakat yang kearifan lokalnya masih dipertahankan dan belajarlah dari mereka.