Tata Klola Laut dan Prikanan oleh Pemerintah Masih Menimbulkan Krisis Ekologi


 

Eastjourneymagz.comArah kebijakan tata kelola kelautan dan perikanan Indonesia yang dirumuskan dan ditempuh oleh Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) pada periode 2019-2024 berpotensi menimbulkan krisis ekologi (termasuk kerusakan ekosistem laut) dan ketidakadilan sosial. Hal ini tercermin dari hilangnya visi dan misi Indonesia sebagai poros maritim dunia pada periode kedua ini. Arah kebijakan pemerintah saat ini juga berpotensi merampas ruang hidup dan mata pencaharian nelayan tradisional, nelayan kecil dan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia.

Rancangan Omnibus Law pun mengisyaratkan percepatan investasi dengan mengabaikan aspek perlindungan daya dukung ekosistem, serta kepentingan kelompok masyarakat marjinal di sektor kelautan dan perikanan.

Melihat situasi terkini, KORAL, sebuah koalisi yang terdiri dari 9 (sembilan) Organisasi Masyarakat Sipil, pun lahir untuk mengingatkan agar para pemangku kepentingan di sektor kelautan dan perikanan mengedepankan nilai-nilai keberlanjutan dan menjalankan prinsip demokrasi partisipatoris.

Dari sisi ketersediaan sumber daya ikan, berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 50 Tahun 2017, sebagian besar status stok perikanan Indonesia masih mengalami eksploitasi dan penangkapan secara berlebihan di sejumlah wilayah pengelolaan perikanan (WPP).

Terumbu karang yang sudah rusak di Makasar akibat bom/ Foto Greenpeace.

“Membuka kesempatan kembali migrasi armada kapal perikanan asing dan operasi kapal dengan alat tangkap merusak dalam kegiatan penangkapan ikan di sejumlah WPP Indonesia, akan semakin menguras stok ikan dan nelayan skala kecil kita semakin tercekik. Bagaimana logika pemerintah jika nelayan skala kecil akan bersaing dengan kapal perikanan asing?” kata Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA).

“Harusnya kebijakan pemerintah konsisten bahwa sektor perikanan tangkap kita tidak lagi terbuka untuk asing, dan nelayan skala kecil diberi hak untuk berdaulat di ruang lautnya karena nelayan kecil adalah rightholders di lautnya,” tegas Susan.

Perlindungan terhadap sejumlah ekosistem penting baik di pesisir dan laut pun semakin mengalami tantangan yang serius. Saat ini, kondisi padang lamun, mangrove, hingga terumbu karang banyak yang miris.

Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), luasan mangrove yang baik hanya tersisa 1.671.140,75 hektar, sementara luasan yang rusak mencapai 1.817.999,93 hektar.

Banyak hal menjadi penyebab rusaknya ekosistem pesisir dan laut, mulai dari reklamasi, alih fungsi lahan, hingga penambangan pasir. Dampaknya cukup besar bagi nelayan skala kecil.


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous post Takut Virus Corona Kemenparekraf Tunda Promosi Wisata di Luar Neger
Next post Unlikely Destinations