Memburu Jejak Orang-Orang Poa (2)
Orang-orang Poa adalah mereka yang aku banggakan. Keramahan terpahat rapih di wajah mereka. Mereka selalu memberikan senyuman kepada siapapun yang menghampiri. Apalagi tamu-tamu yang menginjakan kaki di tanah mereka. Mereka takan membiarkan tamu-tamu itu menjadi terasing di tanah mereka.
Akan ada sapaan itu;
Tabe, mai cee tite bo a? (Selamat
Datang!)
Datang!)
Nia mai dite? (Asal darimana)
Neka hemong lejong le mabaru. (Jangan
lupa untuk singgah di Rumah.)
lupa untuk singgah di Rumah.)
Bahkan ada yang belum buat kopi.
Mai ga, Inung kopi, aku poli pande kopi. (Mari, kita minum kopi,
saya baru saja membuat kopi)
saya baru saja membuat kopi)
Neka ritak ase kae dite kanang one
beo hoo! (Jangan sungkan di kampung ini adalah saudara-saudara
kita)
beo hoo! (Jangan sungkan di kampung ini adalah saudara-saudara
kita)
Itulah secuil keramahan orang-orang Poa. Mereka dengan tulus memberikan keramahan itu kepada siapapun yang menyentuhkan kaki di bumi mereka. Orang-orang Poa-ku terdiri dari dua suku besar (wa’u) yakni Wa’u Bikar (Suku Bikar) dan Wa’u Lale (suku Lale). Kedua suku ini masing-masing memiliki kisah yang panjang. Keduanya sama-sama suku pendatang yang bermigrasi dengan berlayar pada masa silam.
Suku Lale dikisahkan sebagai suku yang bermigrasi dari minangkabau. Dalam tradisi Suku Lale, dikisahkan perjalanan nenek moyang mereka ke Manggarai mengguanakan sampan (wangka) yang terbuat dari batang pohon Lale (artocarpus elastica, bisa dipakai untuk pakaian). Dengan itu, seluruh keturunan suku Lale ini tidak memanfaatkan haju lale ini. Apabila melanggar, akan ada semacam kutukan yang terjadi pada penggunanya. Inilah yang disebut ireng (semacam sebuah pantangan).
Sedangkan suku Bikar merupakan garis keturunan Makasar (Gowa). Mereka datang ke Manggarai melalui jalur pelayaran. Soal ireng (pantangan) suku bikar tidak memakan Tikus (memiliki kaitan dengan suku Kina) atau memakan Burung Beo (Ngkuleng). Apabila dilanggar maka akan mendapat semacam kutukan.
Belum tahu pasti kapan dua suku ini datang ke Manggarai atau ke Poa, namun dua Suku ini sangat doiminan dalam masyarakat Poa. Kisah pelayaran di masa silam itu merupakan tradisi oral yang diwariskan dari turun temurun. Mereka tak menghapus kisah itu dari memori mereka.
Inilah yang membuatku bertanya-tanya soal mereka yang adalah suku pelayar. Suku yang datangnya dari luar. Aku tak melihat jejak pelaut dalam diri mereka. Tak ada sauh, dayung, atau serpihan sampan. Atau seorang pelautpun tak ditemukan di kampung ini. Mereka adalah orang-orang gunung. Setiap keturunan mereka tak menemukan guruh ombak lautan saat mereka lahir.
Otot-otot mereka adalah guratan setiap jengkal tanah. Mereka adalah para petani. Mereka dapat mencium gelagat musim atau membaca bintang dan bulan agar mereka dapat menabur atau menuai. ya, mereka adalah para petani. Mereka menggarisi keturunan agraris ini pada setiap keturunan mereka. Sebagaimana masyarakat manggarai pada umumnya, sistem pertanian mereka juga sama. Filosofi Mbarun one uma peang (Rumah sebagai tempat tinggal dan kebun sebagai tempat kerja) adalah bentuk tradisi agraris yang melekat pada mereka.
Kampung poa menggunakan sistem pertanian atau seturut tradisi Manggarai. Di kebun mereka menggunakan sistem lingko terdiri atas cicing dan lodok. Lingko dan Lodok merupakan area perkebunan dimana mereka nanti bertani. Bentuknya seperti jaring laba-laba. Lodok adalah pusat kebun, sedangkan sisi luar disebut cicing.
Di atas bidangan tanah yang deiberikan tua teno itulah mereka mengantungkan hidup mereka. Mereka bertani seadanya dengan menggunakan sistem tradisional. Komoditi yang banyak di kelolah oleh masyarakat adalah kemiri, Kopi, Jambu monyet, Cokelat, Pisang, nangka, mangga dan lain-lain.
Dominan masyarakat lebih fokus kepada kopi, coklat, kemiri dan jambu monyet. Masyarakat juga menanam Jagung, umbi-umbian, serta padi. Padi tidak hanya di tanam di sawah tapi juga di lahan kering. Hasil keringat mereka dapat dilihat di halaman kampung. Mereka biasanya menjemur hasil pertanian di halaman kampung. Seperti menjemur Padi, Jagung, Kopi, Kemiri, Cokelat atau tembakau, pinang dan banyak lagi.
Ada yang menarik selain tradisi bertani ini khususnya kalangan wanita. Wanita manggarai juga dianugerahi menenun. Mereka menenun kain songket. Sebuah kain tradisional yang ditenun dengan tangan halus wanita-wanita Manggarai khususnya molas-molas Poa (gadis-gadis Poa). Songket (songke) juga menambah penghasilan selain hasil pertanian.
Orang-orang Poa menggantungkan hidupnya pada tanah yang mereka olah. Selain saja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, juga untuk menyekolahkan anak. Tak kalah penting adalah bantang sida/ wali sida (Mengumpulkan uang, beras atau ternak untuk acara adat seperti perkawinan, kenduri, dll). Bantang sida, semacam sebuah kutukan yang harus dijalani dari turun temurun. Jarang sekali ada penolakan terhadap bantang sida ini, karena bisa saja dikucilkan oleh keluarga atau kerabat.
Meskipun kehidupan orang-orang Poa tidak glamour namun mereka tampak bahagia. Mereka adalah pekerja keras, tampak dari guratan wajah dan tubuh yang keras. Wanita-wanita perkasa dan laki-laki perkasa akan sangat mudah ditemukan di kampung ini. Semangat mereka tak pernah surut walau tahu bahwa membanting tulang dari pagi dan petang tak akan membawa segepok uang dan sebuah mobil BMW di halaman rumah mereka. Mereka tak hanya bekerja dengan otot tapi terutama dengan hati untuk mengolah alam mereka.
Tak salah, kesederhanaan seperti ini tampak dari semangat sebuah syair yang sering mereka nyanyikan dalam sebuah balada (ninggo).
Ata bora mata kin, Ata lengge mata kin, ite hoo kud hias tana lino. (Orang kaya pasti meninggal, orang miskin juga akan meninggal, manusia hanyalah hiasan duniawi.)
BERSAMBUNG ………!!!!!