Mengapa Disebut Manggarai?


 

Eastjourneymagz.com-Ada sebuah pepatah latin yang menarik, “nomen est omen” nama adalah tanda. Penamaan sangatlah mudah ditemukan di dalam manusia. Tak ada satu manusiapun yang tidak memiliki nama. Bahkan Ilmuwan kemudian membuat penamaan pada tumbuhan atau binatang berdasarkan jenis. Hal ini juga terjadi dalam masyarakat lokal atau maasyarakat adat.
Nama juga diberikan atau disematkan pada sebuah wilayah. Dalam cerita penaklukan sebuah wilayah penamaan sangatlah penting. Misalnya saja dalam sejarah penjelajahan dan penakhlukan wilayah. Bagaimana Bertolomemus Dias Ketika berlayar sampai di ujung Selatan benua Afrika, kapal Dias terkena badai topan. Setelah badai reda, Dias kembali ke Portugis.dan rombongannya, ujung Selatan Benua Afrika dinamai Tanjung Badai. Namun, Raja Portugal Joao II mengganti namanya menjadi Tanjung Harapan (Cape of Good Hope) karena untuk menghilangkan kesan menakutkan dan tempat tersebut dianggap memberikan harapan bagi bangsa Portugis untuk menemukan Hindia.
Nama-nama yang diberikan tersebut memiliki arti tersendiri bahkan dalam rangka tujuan politis sekalipun sebagaimana yang dilakukan Raja Portugal Joao II. Sebagai sebuah wilayah Manggarai juga memiliki arti tersendiri. Bahkan nama Manggarai cukup unik karena memiliki cerita yang versinya berbeda.
 
Berikut ini ada beberapa versi yang dapat dibagikan dalam artikel ini:
 
1. Kedatangan Suku Luar
 
Menurut versi ini Manggarai pernah di temukan oleh orang luar. Saat itu mereka berlayar dari tempat yang jauh (Orang-orang Gowa). Dari sebuah kapal mereka melihat sebuah pulau yang begitu indah, hutannya sangat lebat dan tampak subur. Terhipnotis oleh keindahan daratan tersebut akhirnya mereka memutuskan untuk mendarat dan berhenti di tempat itu.
 
 
Saat mereka ingin melemparkan sauh atau jangkar tiba-tiba geluduk berbunyi begitu keras dan hujan deras turun. Badaipun yang begitu hebat akhirnya mengguncang kapal mereka. Karena hujan badai yang sangat besar, jangkar mereka putus sehingga dengan segenap kekuatan berusaha menyelamatkan diri kembali ke laut lepas. Mereka meninggalkan tempat itu dan kembali ke temapat asal mereka yakni Gowa.
 
Setelah luput dari pelayaran yang membahayakan itu mereka kemudian kembali pada keluarga mereka. Kedatangan mereka disambut dengan sukacita mendalam oleh anggota keluarga. Tragedi badai tidak membekas begitu lama diingatan mereka karena telah menemukan pulau yang keindahannya begitu dasyat tadi. Para pelaut itu mengatakan bahwa mereka menemukan sebuah pulau yang begitu indah, hutannya sangat lebat dan tampak subur. Mereka berusaha mendarat, tetapi karena badai besar jangkar perahu putus dan harapan mereka pupus untuk mendarat  di wilayah baru itu.
 
Daerah yang indah, hutannya lebat dan subur itu mereka namakan Manggar-Rai. Kelak, daerah itu didatangi kembali. Nama itu kemudian dipakai selanjutnya untuk menunjuk daerah itu. Manggarai kemudian disematkan pada wilayah yang baru tadi. Nama manggarai ini diberi berdasarkan bahasa orang Gowa-sulawesi Selatan. Dengan demikian Manggarai merupakan gabungan dua kata bahasa Gowa – Sulawesi Selatan, yaitu manggar, artinya sauh atau jangkar dan rai, artinya putus. Dari padanan kata tersebut dapat ditemukan Manggarai artinya jangkar putus.
 
2. Nama batu yang dibawa oleh Empo Masur
 
Di dalam tradisi lisan orang manggarai dikenal dengan nama “Empo” yakni nenek moyang. Pemakaian kata Empo ini juga memiliki batasannya. Karena “ceki” juga merujuk pada arti yang sama yakni nenek moyang. Ceki biasanya lebih tepat merujuk pada keluarga yang telah meninggal termasuk nenek moyang tadi. Biasanya keluarga inti hingga keluarga luas sehingga ditambahkan ‘wura”. Maka dikenal istilah ceki agu wura. Ada juga padanan kata yang sama yakni ‘Ema Lopo Andu’ merujuk pada arti yang sama yakni nenek moyang.
 
 
 
Ceki atau wura biasanya dipakai saat mengucapkan syukur dan terima kasih, meminta doa dan berkat kepada leluhur. Biasanya diungkapkan dengan doa-doa dan sesajian kepada leluhur. Doa-doa ini diungkapkan oleh seorang Pemimpin yang dipilih atau diminta oleh keluarga (tidak berdasarkan jabatan tetapi memiliki karisma tersendiri). Ia biasanya disebut sebaga juru bicara ‘ata letang temba’. Di dalam tradisi keagamaan biasa disebut Pastor (katolik), Pendeta (protestan), Ustad atau Haji (Muslim), Rabbi (yahudi).
 
Istilah Empo’ biasanya muncul dalam silsila keluarga atau keturunan. Empo ini merupakan leluhur atau nenek moyang suatu clan tertentu. Setiap clan atau wa’u tentu saja memiliki nenek moyang atau yang disebut dengan Empo. Empo ini tentu saja akan selalu disebut di dalam setiap acara adat terutama saat torok (doa).
 
Dalam tradisi orang cibal terutama calan atau wa’u Kina sangat dikenal dengan nama Empo Paju. Empo Paju dan keturunannya sangat dikenal sebagai bangsawan atau berdara biru. Sedangkan dalam tradisi Todo-pongkor dikenal dengan nama Empo Masur. Ia juga seorang bangsawan dan berdarah biru. Epmpo Masur merupakan cikal bakal orang Todo-Pongkor.
 
Dalam versi kedua ini penamaan Manggarai memiliki kaitannya dengan Empo Masur. Dalam tradisi lisan ini mengungkapkan Manggarai merupakan gabungan kata Manggar dan Rai. Manggar diambil dari nama batu yang dibawa oleh Empo Masur yang artinya watu jangkar yang biasanya digunakan untuk menahan Wangka (Perahu) ketika berlabuh. Sedangkan kata watu rai berarti batu asah yang digunakan untuk mengasah parang, tombak dan benda-benda tajam lainnya. Kedua batu ini merupakan dasar pemberian nama Manggarai.



 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous post Takut Telanjang
Next post Tarian Caci, antara Perang dan Menari